Zaenal mengaku, dalam memasarkan Madu Kelulut tersebut, sejauh ini banyak dibantu rekan-rekannya.Baik dari mulut kemulut, ada juga sesekali melalui media sosial. Pihaknya menjual rata-rata paling sedikit per botol isi 50 mililiter dihargai Rp 50 ribu.
“Kita belum berani juga promosi besar-besaran dan memberikan merk, karena produksinya masih terbatas. Selain di jual di sekitar Sampit, ada juga teman yang menjual ke kawasan perkebunan sawit,” ujarnya.
Ke depan, pihaknya terus membenahi dan mengembangkan sarang yang ada. Saat ini dua pembudidaya ini sudah memiliki hampir seratus sarang.
Selain itu mereka juga memiliki keinginan kuat, untuk menyulap tempat budi daya Madu Kelulut tersebut, agar bisa menarik pengunjung.
“Kami ingin membuat semacam taman, di sekitar sarang-sarang lebah itu. Nanti kalau ada orang datang, bisa langsung menikmati madu dari sarangnya langsung,”tambah Slamet.
Menurutnya, lingkungan untuk mengembangkan sarang Madu Kelulut harus terjaga keasriannya dan jauh dari polusi. Baik udara maupun polusi suara. Hal itu, agar sang lebah tidak stress dan produksi madunya lancar.
Seperti di sekitar sarang lebah yang mereka kembangkan. Banyak ditanami kopi. Menurut Slamet, sari bunga kopi termasuk makanan kesukaan Lebah Kelulut. Selain itu ada juga tanaman bunga jenis lainnya, yang biasanya tumbuh di sekitar hutan tempat Lebah Kelulut berasal.
Di sisi lain, selain ingin terus mengembangkan produksi Madu Kelulut secara mandiri, pihaknya juga ingin bermitra dengan instansi terkait pemerintah. Terutama untuk membantu membuka pemasaran dan meningkatkan produksi.
”Kami juga siap berbagi pengetahuan, jika ada yang ingin belajar mengembangkan sarang Madu Kelulut ini. Kami harap, madu ini bisa jadi andalan untuk jadi produk khas daerah kita,” cetus Zaenal. (***)