Setelah konsultasi tersebut, Willem Hengki menganggarkan dana desa untuk membayar tunggakan proyek jalan tersebut. Akan tetapi, dia justru ditetapkan tersangka oleh Polres Lamandau karena diduga terjadi korupsi yang merugikan negara.
Dalam dakwaan jaksa disebutkan, Willem Hengki tidak mengelola keuangan desa sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 tahun 2018 dan Pasal 29 huruf F Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kemudian, melawan hukum dalam melaksanakan tugasnya sebagai kades.
Selain itu, terdakwa tidak mengelola keuangan desa secara transparan, akuntabel, partisipatif, tertib, dan disiplin anggaran. Dalam perkara yang menjeratnya, Willem sengaja menganggarkan pekerjaan yang telah dilaksanakan pada 2017 dan membayarkan pekerjaan itu tanpa disertai dokumen pendukung yang diperlukan untuk pencairan anggaran.
Akibat perbuatan itu, Willem dinilai memperkaya diri sendiri atau orang lain. dalam penjelasannya, Willem menyalahi kewenangan dalam menetapkan kebijakan pelaksanaan APBDes dan mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDes, sehingga memperkaya Direktur CV Bukit Pendulangan, Dedi Gusmanto yang merugikan negara sebesar Rp 261.356.798,57. Kerugian tersebut mengacu laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara itu.
Kuasa hukum terdakwa menyatakan keberatannya atas isi dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Bahkan, menurut mereka, banyak hal yang tidak terungkap dalam surat dakwaan. Di antaranya terkait kronologis lengkap munculnya pekerjaan pengerjaan jalan yang menjadi awal mula munculnya kasus tersebut.
”Sangat keberatan dikarenakan terdapat pelanggaran syarat-syarat materiil surat dakwaan sehingga harus dinyatakan batal demi hukum (null and void) sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat 3 KUHAP, yakni surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf b batal demi hukum,” kata salah seorang kuasa hukum terdakwa, Aryo Nugroho Waluyo.
Yang pertama dikarenakan tidak cermat dan tidak jelas dalam menerapkan pasal yang didakwakan, yakni dakwaan primer Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni tidak jelas apakah ayat 1 atau ayat 2. Begitu juga dengan dakwaan subsider yang juga tidak jelas ayatnya.