Jalan raya di depannya yang menghubungkan Cirebon–Indramayu bisa dilalui kendaraan sejak kemarin pagi (30/3). Anggota TNI, polisi, dan pegawai Pertamina masih setia berjaga di sekitar lokasi. Termasuk di akses menuju Desa Sukaurip yang berlokasi tepat di belakang Pertamina.
Hujan sebenarnya mengguyur Indramayu sejak Senin malam (29/3) sampai kemarin pagi (30/3). Matahari baru mulai muncul sekitar pukul 11.00. Toh, api belum reda juga.
Di GOR yang dihuni warga Desa Wisma Jati dan Majakerta, kehidupan menggeliat sejak pagi. Jalanan yang berlumpur menyulitkan akses keluar masuk serta menghambat aktivitas warga dan relawan.
Di dalam GOR, tangis bayi bercampur teriakan anak-anak dan beragam kegiatan orang-orang dewasa. Ada yang tidur, mengobrol, makan, bahkan bengong.
Belasan anggota tim medis bersiaga. Salah seorang bidan yang bertugas mengungkapkan bahwa para pengungsi dewasa rata-rata mengeluhkan sakit yang beragam.
Di antaranya, sakit badan akibat berlarian saat menyelamatkan diri hingga mual. ”Banyak juga lansia yang darah tinggi karena kurang tidur. Sementara itu, banyak anak-anak yang masuk angin dan demam,” kata bidan yang menolak menyebutkan namanya itu.
Tak mudah membunuh waktu di tengah pengungsian. Apalagi, ini bukan mengungsi karena dipaksa oleh bencana alam yang rutin terjadi.
Jadilah menonton insiden itu menjadi hiburan tersendiri. Kemarin sore banyak pengungsi, bercampur dengan mereka yang datang jauh dari Balongan, menonton kilang yang terbakar itu.
Mereka melihat dari jarak kurang dari 1 kilometer. Bahkan, sebagian warga Sukaurip yang bersebelahan dengan kilang Pertamina Balongan sudah berani pulang ke rumah. Namun, malamnya mereka tetap kembali ke pengungsian. Sebab, listrik belum menyala di lokasi tersebut. Seperti Sanusi yang dengan terpaksa melewati malam yang dingin, berisik, dan penuh nyamuk lagi. (*/c19/ttg/jpg)