SAMPIT, radarsampit.com – Penanganan stunting terus menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Hal itu dilakukan melalui dua intervensi, yakni gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif yang difokuskan pada seribu hari pertama kehidupan.
”Semua instansi terkait perlu melakukan berbagai intervensi agar stunting dapat diturunkan, salah satunya intervensi gizi,” kata Bupati Kotim Halikinnor.
Intervensi gizi spesifik sendiri adalah intervensi yang berhubungan dengan peningkatan gizi dan kesehatan. Sementara intervensi gizi sensitif, yakni intervensi pendukung untuk penurunan kecepatan stunting, seperti penyediaan air bersih dan sanitasi.
Sementara itu, isu permasalahan penurunan stunting intervensi spesifik (secara langsung), antara lain belum semua ibu hamil mendapatkan pemeriksaan kehamilan (ANC) sesuai standar kepatuhan. Ibu hamil yang minum tablet tambah darah yang masih rendah, sarana prasarana kesehatan yang belum tersedia dan memadai.
Kemudian, masih banyak balita yang mengalami masalah gizi (stunting, wasting, dan underweight) yang belum dirujuk atau mendapatkan penanganan. Isu permasalahan lain, masih rendahnya pemberian makanan tambahan di posyandu yang kaya dengan protein hewani. Selain itu, pengetahuan dan keterampilan kader yang kurang dalam melakukan pemantauan dan timbang balita.
”Kurangnya kesadaran masyarakat untuk membawa anak balitanya ke posyandu untuk dilakukan pemantauan timbangnya serta pencatatan dan pelaporan data ke aplikasi E-PPGBM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) yang masih rendah juga menjadi permasalahan penanganan stunting di Kotim,” ujarnya.
Di samping isu tersebut, lanjut Halikinnor, ada isu permasalahan penurunan stunting intervensi sensitif (tidak langsung), antara lain berkaitan dengan luas wilayah yang begitu besar dan akses ke beberapa lokasi yang masih sulit, sehingga menyulitkan dalam intervensi.
Kemudian, ketersediaan infrastruktur sanitasi yang rendah karena dukungan dana yang mengandalkan DAK dan kebiasaan buang air besar sembarangan (BAB) yang masih terjadi. Lalu, anggaran yang mengandalkan DAK untuk pembangunan infrastruktur air minum, rendahnya pengelolaan air minum rumah tangga, dan keterbatasan anggaran untuk dukungan bantuan rumah layak huni (RLH).