Irawati menambahkan, apabila penerapan digital farming sukses dilakukan oleh kelompok tani, maka hal itu dapat menjadi upaya yang tepat dalam mengendalikan angka inflasi di Kotim.
“Dengan hasil produksi yang melimpah maka dapat memenuhi kebutuhan pangan di Kotim dengan begitu harga di pasaran stabil. Digital farming ide yang menarik orang untuk mau jadi petani. Saya mengajak masyarakat Kotim agar jangan malu untuk memulai usaha menjadi petani. Pekerjaan petani tidak lagi profesi yang dipandang rendah, justru penghasilan petani bisa lebih besar dari pegawai yang berseragam dinas,” ujar Irawati.
Pengelola Kelompok Tani Margo Mulyo Agus Suyanto mengatakan, selama tiga bulan diberikan pendampingan oleh pihak Bank Indonesia dan sudah berjalan lima bulan menerapkan digital farming merasakan manfaatnya.
“Banyak kemudahan yang saya dapatkan, memantau tanaman lebih mudah daripada manual, memantau penyakit dan memantau kebutuhan nutrisi bisa diatur otomatis tiga hari sekali atau seminggu sekali,” kata Agus Suyanto.
Dengan luasan lahan 1/2 hektare di Jalan Jenderal Sudirman Kilometer 12, Agus mampu menghasilkan panen cabai 200-300 kg per lima hari sekali setiap kali panen.
“Ini masih petikan kelima. Dalam sebulan bisa 5-6 kali panen. Hasil panen dengan digital farming selisih panen lebih banyak 40-50 persen dibandingkan dengan cara konvensional sekitar 20-30 persen baik dari hasil panen lebih banyak dan pengeluaran biaya perawatan juga lebih hemat,” kata pria yang sudah bertani selama 15 tahun ini.
“Kalau dengan cara manual memerlukan 5-6 tenaga petani untuk perawatan dan selama menerapkan digital farming cukup dua orang, kalau untuk tenaga pemanen bisa 5-7 orang,” tambahnya.
Agus memilih benih cabai rawit merk Roket dan Semprul yang rasa pedasnya “nyelekit” sampai ke lidah dan lebih renyah ketika digigit.
“Pedasnya kurang lebih sama saja seperti cabai petani kiriman dari Jawa. Yang membedakan bentuknya lebih gendut kalau cabai Jawa, cabai yang saya tanam panjang kurus, pedas dan renyah ketika digigit apalagi kalau baru dipetik. Saya jual Rp 35 ribu di tingkat petani, pemasaran di Sampit saja, belum sampai kabupaten tetangga,” tandasnya. (hgn/yit)