”Ini dalam konteks tata ruang kita sudah ada dan mengatur terkait lokasi pembangunan, khususnya perkebunan. Tidak bisa serta merta diberikan izin ke ekosistem penting untuk mendukung lingkungan atau kehidupan masyarakat yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Jadi, poin ini saja sudah menyalahi,” ujar Bayu.
Bayu menegaskan Pemkab Kotim mesti bergerak cepat menyelesaikan permasalahan tersebut. Apalagi alat berat yang dikerahkan perusahaan bisa dengan sekejap menghabisi tanaman hingga kebun masyarakat. Seharunya izin tidak diberikan di areal kebun masyarakat di tengah kondisi seperti sekarang. ”Harusnya jangan diberikan izin ekstraktif yang mengubah fungsi areal itu. Bagi kami persoalan ini serius untuk diselesaikan,” katanya.
Lebih lanjut Bayu mengatakan, sudah seharusnya di Kotim dilakukan tata kelola izin, karena disinyalir banyak izin yang tidak dijalankan sesuai aturan. Apabila proses izin dilakukan sesuai aturan, tumpang tindih wilayah yang dimanfaatkan masyarakat tidak akan terjadi.
”Misalnya saja di perkebunan, sebelum pembukaan lahan atau pembangunan kebun, ada proses di awal terkait pemberitahuan dan memastikan masyarakat paham dan mengerti dengan kegiatan usaha yang dilakukan di wilayah mereka. Yang ada banyak tidak dilakukan perusahaan, sehingga mereka langsung main buka lahan. Inilah yang menyebabkan konflik,” ungkapnya.
Bayu mendorong masyarakat yang menjadi korban lahannya digarap perusahaan agar mengadukan persoalan itu ke pemerintah daerah atau dinas terkait agar segera ditangani.
Selain itu, masyarakat juga harus berani mengambil langkah melapor secara kelembagaan yang spesifik mengatur dan mengawasi perkebunan, yakni bisa RSPO atau ISPO, organisasi keanggotaan global sukarela yang menyatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit untuk mengembangkan dan menerapkan standar global produksi dan pengadaan minyak sawit berkelanjutan. ”Adukan juga ke RSPO atau ISPO dalam rangka penanganan konflik ini,” katanya.
Selain itu, pemerintah perlu melakukan pengawasan, sehingga kewenangan dan tanggung jawab pemberi izin benar-benar dijalankan. ”Praktik perkebunan semacam ini di lapangan harus di awasi. Kalau ada pelanggaran yang dilakukan, harus ada upaya pemberian sanksi terkait penyelesaiannya, sehingga tidak terjadi konflik semacam ini,” katanya. (ang/ign)