Bahkan, ormas keagamaan lain, seperti Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), juga belum mengeluarkan pernyataannya.
Dampak Lingkungan-Sosial Besar
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ikut buka suara pasca terbitnya PP Nomor 25 Tahun 2024 tersebut. Kepala Divisi Kampanye Walhi Rere Christanto menyampaikan bahwa aturan itu berpotensi mengacaukan tata kelola pertambangan di Indonesia.
Sebab, aturan itu memberikan prioritas kepada ormas dan organisasi keagamaan untuk mendapat WIUPK. Sementara badan hukum dan badan usaha lain harus mengikuti mekanisme lelang.
Menurut Rere. poin yang menyatakan bahwa aturan itu dibuat demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak tepat. ”Dampak lingkungan dan sosial dari usaha pertambangan itu sudah pasti besar,” ungkap dia saat diwawancarai oleh Jawa Pos kemarin.
Belum lagi masalah-masalah lain seperti PP yang justru tidak sesuai dengan undang-undang (UU). Rere menyatakan bahwa UU tidak pernah mengatur ormas bisa mendapat izin untuk mengelola pertambangan.
UU hanya membolehkan badan hukum. Selain itu, dalam UU tidak ada pemberian prioritas. Karena itu, pihaknya menilai bahwa PP tersebut merupakan bypass atau jalan pintas untuk mengubah aturan dalam UU.
”Yang justru berbahaya kalau model seperti ini terus dijalankan,” kata dia.
Praktik seperti itu, lanjut dia, menghilangkan kepastian terhadap tata kelola legislasi di Indonesia. Sebab, aturan dalam undang-undang dengan mudah dapat diubah.
”Begitu mudah suatu undang-undang diubah untuk kepentingan pemerintah,” ucap Rere.
Catatan lain dari Walhi pasca terbitnya PP tersebut terkait dengan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengelola usaha pertambangan. Selain butuh pendanaan besar, usaha pertambangan juga memerlukan profesionalitas dari pengelolanya.
Menurut Walhi, PP tersebut bisa menjadi celah bagi para pemain tambang untuk menghindari mekanisme yang diatur dalam UU. Dengan PP itu, ormas dan ormas keagamaan rentan dimanfaatkan atau dikendalikan oleh para pemain tambang. (wan/syn/c6/ttg/jpg)