SAMPIT, radarsampit.com – Sejumlah tokoh dan perwakilan Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan (MDAHK) Kotim, melaporkan tujuh damang kepala adat ke Polres Kotim. Para damang itu dituding melakukan penistaan terhadap kepercayaan umat Hindu Kaharingan, di antaranya dengan sembarangan mengutip ayat Kitab Suci Panaturan milik umat Hindu Kaharingan.
”Kami perwakilan dari umat Hindu di wilayah Kotim, tujuan kami menyampaikan laporan keberatan atas apa yang dilakukan dalam sidang Basara Hai yang mengutip dan memasukkan ayat-ayat kitab suci kami,” kata Yather U Buri, salah satu tokoh Hindu Kaharingan Kotim, Rabu (13/4).
Laporan tersebut diterima langsung Kapolres Kotim AKBP Sarpani bersama sejumlah perwira lainnya di Polres Kotim. Tak disebutkan damang mana saja yang dilaporkan. Mereka berharap dugaan penistaan tersebut ditindaklanjuti, tidak mengendap begitu saja.
”Kami meminta Kapolres menindak tujuh damang itu supaya tidak mencampuradukkan agama dengan adat. Pelaporan ini merupakan kesepakatan kami dengan pihak umat Hindu,” kata Yather.
Yather menuturkan, putusan Basara Hai yang dikeluarkan tujuh damang beberapa waktu lalu menimbulkan gejolak di kalangan umat Hindu Kaharingan. Mereka keberatan ayat suci dalam Kitab Panaturan dikutip dalam keputusan tersebut. Padahal, hal tersebut sangat sakral.
”Kami tidak menyoal apa pun putusan yang termuat dalam Basara Hai itu. Persoalan di kami ini adalah, ayat suci yang dikutip merupakan hal yang skral bagi umat Hindu Kaharingan. Hanya dalam momentum tertentu bisa dibuka dan dikutip,” tegasnya.
Menurut Yather, harus ada efek jera dan pemahaman yang mendalam bagi oknum damang yang secara sengaja dan tanpa hak mengutip ayat suci tersebut. ”Jangan sembarangan mengambil ayat-ayat suci kepercayaan kami. Kami berharap Kapolres Kotim bisa menindak tegas agar ada efek jera,” ujarnya.
Sebagai informasi, Basara Hai merupakan sidang adat yang digelar untuk mencari solusi terkait konflik yang terjadi di tengah masyarakat adat Dayak. Di Kotim dan sejumlah daerah lainnya di Kalteng, sidang tersebut kerap digelar ketika terjadi sengketa lahan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat adat. (ang/ign)