”Keterlaluan mereka itu. Tidak ada izin, seenaknya menggarap lahan orang,” katanya.
Anggota Komisi II DPRD Kotim Muhammad Abadi sepakat usaha galian C ditertibkan dan diarahkan agar mengurus perizinannya. Hal itu juga belajar dari pengalaman tahun lalu, ketika ratusan sopir tidak bisa bekerja lantaran pengusaha galian C tiarap saat dilakukan operasi penertiban tambang ilegal.
”Saya harap agar ditertibkan dan diarahkan supaya mereka mengurus izin. Tidak bisa lagi asal main gali begitu saja tanpa ada perizinan yang diurus,” katanya.
Apabila penertiban tak dilakukan, lanjutnya, pengusaha dan aparat bakal kucing-kucingan. ”Pertanyaannya, mau sampai kapan usaha yang kucing-kucingan dengan penegak hukum seperti itu? Lebih baik urus dulu izinnya dan saya yakin pemerintah daerah akan mendukung dan membantu apa yang diperlukan untuk proses izin tersebut,” kata Abadi.
Pemkab Kotim sebelumnya menyebutkan, sebagian usaha galian C memiliki izin, namun tidak bisa beroperasi karena belum membuat rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB). Selain itu, kualitas tanah dan pasirnya dinilai belum tentu sesuai spesifikasi yang diperlukan.
Kepala Bagian Sumber Daya Alam Sekretariat Daerah Kotim Rody Kamislam mengatakan, berdasarkan data Pemprov Kalteng, di seputaran Sampit terdapat 10 usaha galian C yang legal atau memiliki izin yang berlokasi di Kecamatan Mentawa Baru Ketapang.
”Ini kan ada yang legal, jadi ini dulu kami prioritaskan. Kalau perlu kita sama-sama mengeceknya ke lokasi bersama aparat untuk memastikannya. Kalau mereka ada kendala, mari kita diskusikan solusinya. Tidak perlu kita mengurus yang ilegal,” ujar Rody.
Sebagai informasi, tambang galian C yang jadi polemik di Sampit tidak jauh dari pusat kota, yakni di Jalan Jenderal Sudirman mulai dari Km 9 – Km 16. Aktivitas itu disinyalir sebagian besar ilegal. Meski ada yang mengantongi izin, namun lahan yang dikeruk berada di luar koordinat areal izin.
Tanah yang digali memiliki kedalaman hingga enam meter. Galian C berupa tanah uruk dan pasir cor tahun ini mengalami kenaikan dari harga awalnya sebesar Rp 250 ribu, menjadi Rp 300 ribu. Pada 2020 lalu, galian C ilegal sempat ditangani Kejaksaan Negeri Kotim, namun hingga kini kasusnya belum jelas hasilnya. Padahal, sejumlah pemiliknya telah diperiksa. (ang/ign)