Radarsampit.com – Bayangkan Anda menerima panggilan video dari seseorang yang wajah dan suaranya sangat Anda kenali—kerabat atau teman dekat—meminta bantuan mendesak, termasuk uang. Namun, ada sesuatu yang terasa tidak wajar.
Atau pesan singkat dari nomor asing yang mendesak Anda segera mengirimkan kode OTP. Sekilas tampak biasa, namun Anda hampir saja menjadi korban penipuan digital berbasis kecerdasan buatan, seperti deepfake dan account takeover (ATO).
Teknologi deepfake, yang awalnya dirancang untuk industri hiburan dan perfilman, kini disalahgunakan oleh pelaku kejahatan siber. Berbekal AI, penipu mampu memalsukan wajah dan suara seseorang dengan sangat realistis, meniru intonasi bicara hingga ekspresi wajah mereka.
Hasilnya, muncul video atau rekaman suara palsu yang tampak seakan berasal dari orang yang Anda percayai. Di tengah minimnya literasi digital, masyarakat semakin rentan terhadap tipu daya semacam ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, serangan siber lebih mengandalkan manipulasi psikologis ketimbang membobol sistem keamanan digital. Pelaku memanfaatkan kelemahan utama dalam teknologi: manusia itu sendiri.
Berbagai bentuk rekayasa sosial seperti phishing, permintaan OTP, hingga penyamaran menggunakan deepfake menjadi senjata ampuh untuk membajak akun atau mencuri data sensitif.
Berdasarkan laporan dari Vida, penyedia layanan identitas digital dan sertifikat elektronik, pada 2024 tercatat 97 persen perusahaan di Indonesia mengalami serangan ATO, yang mayoritas disebabkan oleh lemahnya sistem OTP berbasis SMS.
Data ini menegaskan bahwa kejahatan siber berbasis AI tidak hanya menyasar individu, tetapi juga institusi bisnis menjadi target empuk.
Melihat skala ancaman yang semakin meluas, Vida menggagas sebuah inisiatif edukasi publik bernama “Where’s The Fraud Hub”, sebuah laman yang berisi informasi terkini seputar penipuan digital, studi kasus, hingga panduan praktis untuk mengenali tanda-tanda kejahatan berbasis teknologi canggih.
Upaya ini tak berdiri sendiri. Vida turut menggandeng sejumlah institusi strategis seperti OJK, Bank Indonesia, dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk memperluas jangkauan literasi digital masyarakat.