”Berdasarkan data Walhi Kalteng, kondisi pertambangan di Kalteng saat ini secara persentase dan eksistingnya di beberapa lahan area sudah dalam tahap eksploitasi. Walaupun belum semasif seperti yang terjadi di Kaltim dan Kalsel, karena saat ini lebih banyak dijadikan land bank,” kata Bayu.
Menurutnya, apabila berkaca keadaan saat ini saja, kondisi lingkungan dan sosial masyarakat di sekitar tambang sudah sangat buruk dan rendah. Belum lagi ancaman kekerasan dan kriminalisasi akibat mempertahankan wilayah atau lahan. Maka, sudah seharusnya Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan tuntutan atas upaya judicial review terhadap UU Minerba yang sedang berjalan demi keselamatan umat manusia.
”Kami mendukung upaya judical review terhadap UU Minerba, semoga semua tuntutan dapat dikabulkan Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Manajer Advokasi dan Kajian Walhi Kalteng Janang Firman Palanungkai menambahkan, UU Minerba yang telah disahkan dan diberlakukan selama dua tahun ini sangat berbahaya. Pihaknya mendukung upaya judical review terhadap UU Minerba.
Janang mengatakan, berdasarkan data Walhi Kalteng, saat ini terdapat 324 izin pertambangan di Kalteng, baik IUP, PKP2B, dan Kontrak Karya. Hal itu menunjukkan bahwa penguasaan ruang untuk pertambahan di Kalteng berpotensi cukup besar.
”Walhi Kalteng pernah melakukan pendampingan masyarakat korban dampak pertambangan batu bara pada salah satu daerah di Kalteng. Dorongan terhadap pemerintah agar adanya pemulihan dan perlindungan terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat masih belum maksimal dilakukan,” katanya.
Bahkan, lanjut Janang, upaya yang masyarakat lakukan hingga adanya mediasi yang difasilitasi Komnas HAM yang kemudian mendapat beberapa poin kesepakatan, belum juga ada upaya serius dari pihak perusahaan dalam memenuhi tanggung jawabnya.
”Saat itu UU Minerba belum disahkan. Apalagi kalau seperti saat ini, akan semakin parah tentunya. Nasib masyarakat sekitar pertambangan itu pun jadi terkatung-katung tanpa kepastian,” ujarnya. (hgn/ign)