Diduga Gratifikasi, Ben Brahim dan Istri Langgengkan Budaya Basi Zaman Kompeni

bupati kapuas tersangka kpk
DITAHAN: Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat dan istri Ary Egahni menggunakan rompi oranye berjalan menuju ruangan konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (28/3). (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN/FOC)

KUALA KAPUAS, radarsampit.com – Perkara dugaan gratifikasi yang menyeret Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat dan istri Ary Egahni, merupakan pelanggengan budaya zaman penjajahan kompeni Belanda. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara blak-blakan memperlihatkan praktik lancung itu dipertahankan pejabat yang memegang kekuasaan.

Praktik suap, jual-beli jabatan, sampai upeti dari bawahan kepada atasan, marak terjadi pada masa Indonesia dijajah Belanda. Para pegawai berlomba-lomba mengumpulkan pundi-pundi dan sumber dana agar dapat menduduki suatu posisi penting.

Bacaan Lainnya
Pasang Iklan

Profesor Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Wahyudi Kumorotomo dalam tulisannya berjudul ”Budaya Upeti, Suap, dan Birokrasi Publik”, mengatakan, praktik gratifikasi sudah ada sejak zaman kerajaan di Indonesia yang dikenal dengan upeti. Upeti merupakan bentuk persembahan adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk.

Dalam budaya birokrasi di Indonesia, lanjutnya, ketika kebanyakan pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda, upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisma.

Baca Juga :  Kompak Edarkan Sabu, Pasangan Sejoli Akhirnya Dipenjara

Para adipati memberikan persembahan kepada raja penakluk. Sebagai imbalannya, raja penakluk memberikan perlindungan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh para adipati tersebut. Sistem kekuasaan yang mengambil pola hierarkhis ini mengalami adaptasi dalam sistem birokrasi modern di Indonesia.

Hal tersebut jelas tergambar dalam kasus Ben Brahim dan Ary Egahni. Menurut KPK, keduanya diduga melakukan korupsi terkait pemotongan anggaran yang seolah-olah  utang kepada penyelenggara negara dan menerima suap di Pemkab Kapuas. Uang yang diterima mencapai Rp8,7 miliar.

Ben Brahim diduga menerima sejumlah uang dan fasilitas dari satuan organisasi perangkat daerah (SOPD) dan pihak swasta. Sang istri diduga aktif turut campur dalam proses pemerintahan. Ary disebut memerintahkan beberapa kepala SOPD untuk memenuhi kebutuhan pribadi dalam bentuk pemberian uang dan barang mewah.



Pos terkait