Pelanggaran demikian terjadi pada bangunan ruko di samping SMK PGRI Sampit yang dibangun persis di pinggir jalan dan memakan rumija. Tidak ada jarak atau ruang untuk parkir atau halaman.
Untuk diketahui, GSB tidak hanya meliputi sempadan muka yang berbatasan dengan jalan, tetapi sempadan belakang yang berbatasan dengan jalan atau bangunan di belakangnya, sempadan samping yang berbatasan dengan jalan atau bangunan di sampingnya dan sempadan pagar yang dimulai garis di mana harus dipasang bagian luar dari pagar persil atau pagar pekarangan juga termasuk bagian dari GSB.
Adapun rumus umum untuk menentukan GSB, yakni jika jalan dengan rumija lebih dari 8 meter, maka GSB sama dengan 0,5 dikali rumija ditambah 1. Namun, apabila jalan dengan rumija kurang dari 8 meter, GSB sama dengan 0,5 dikali rumija dikurang 1. Fakta yang terjadi di Kota Sampit, banyak bangunan yang dibangun mepet saluran drainase.
”Hampir disetiap ruas jalan di Kota Sampit ditemukan ketidaksesuaian. Banyak bangunan masyarakat yang mentok dengan saluran drainase. Aturannya dari pagar atau lahan milik masyarakat minimal berjarak satu meter dari drainase terluar,” kata Wijaya.
Pelanggaran tersebut dapat memberikan berbagai dampak berkepanjangan. Bukan hanya penataan kota menjadi semrawut, tapi jarak pandang pengendara terganggu, arus lalu lintas terganggu, dan lebih parahnya dapat terjadi penyumbatan saluran drainase yang berakibat banjir.
”Bangunan yang melanggar aturan tidak hanya merusak estetika perkotaan, tetapi juga merugikan masyarakat dan pemerintah. Sebelum pelanggaran semakin parah, pemerintah melakukan penertiban agar penataan kota tidak semrawut dan tidak menimbulkan dampak kerugian yang berkepanjangan,” ujarnya. (hgn/ign)