Meski tergolong baru di Kalteng, kebijakan UMPR tersebut telah diterapkan di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Pada Oktober 2022 lalu misalnya, puluhan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya dinyatakan lulus tanpa mengerjakan skripsi. Para mahasiswa menggunakan skema konversi, yakni skripsi bukan satu-satunya jalan untuk lulus.
Dalam skema konversi, mahasiswa dapat mengganti skripsi menjadi publikasi jurnal ilmiah nasional terakreditasi Science and Technology Index (SINTA) 3-6 maupun ISSN yang dibuktikan minimal mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) dari pengelola jurnal tersebut.
Kebijakan berbeda diterapkan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Kampus ini menerapkan kebijakan bebas skripsi hanya untuk mahasiswa yang dinilai bisa mengharumkan nama kampus. Misalnya, memiliki prestasi akademis di level internasional atau menjadi presenter dalam lomba bergengsi, seperti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas).
Skripsi sejatinya tidak lagi dijadikan sebagai syarat penentu kelulusan sejak tahun 2000. Hal tersebut berlaku sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi Pasal 16 ayat (1), yang berbunyi ”Ujian akhir suatu program studi, suatu program sarjana dapat terdiri atas ujian komprehensif atau ujian karya tulis, atau ujian skripsi.”
Skripsi menjadi pilihan atau opsional. Mahasiswa dapat memilih untuk mengerjakan tugas skripsi atau tugas lainnya. Hal tersebut guna menghindari munculnya kecurangan pembuatan ijazah palsu, sehingga mahasiswa membeli skripsi layaknya hukum ekonomi, dimana ada permintaan dan penawaran. (ant/ign)