Thong Hulang, warga Tionghoa lainnya juga mengaku setiap tahun melakukan Ceng Beng. Apalagi tradisi tersebut sudah berjalan ribuan tahun dan menjadi tradisi tahunan di keluarganya yang tidak akan pernah ditinggalkan.
”Kami harus perkenalan tradisi ini ke anak cucu sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan. Tanpa leluhur, kita tidak akan ada di bumi ini. Tradisi ziarah ke makam ini untuk mengingat jasa-jasa orang tua atau para leluhur,” ungkapnya.
Saat Ceng Beng, jika mengikuti tradisi dulu, harus Sam Seng atau sembahyang tiga unsur, yaitu ayam mewakili unsur udara, babi mewakili darat, dan ikan mewakili unsur air. Sedangkan untuk vegetarian saat ini sudah banyak yang menggunakan bahan olahan untuk ketiga unsur tersebut, sehingga hanya perlu menyiapkan buah-buahan, nasi, dan sayur untuk persembahan.
”Setelah semua persembahan siap, dilakukan sembahyang di makam leluhur. Dilanjutkan dengan tradisi peletakan kertas sembahyang di atas makam, sebagai tanda bahwa kubur sudah dibersihkan atau telah dikunjungi keluarga,” jelasnya.
Peletakan kertas sembahyang kertas perak atau kertas kuning di atas makam sebagai penanda atas kubur, yang kemudian dijadikan tradisi setiap tahunnya dalam memperingati Ceng Beng. Dilanjutkan dengan ritual sembahyang dewa bumi atau du di gong (thu ti kong, Red) dengan membakar kertas berwarna keemasan atau kim cua untuk sembahyang dewa-dewi dan kertas warna perak gin cua untuk sembahyang leluhur.
Menurut Hulang, begitu dia biasa disapa, terpenting dari hari Ceng Beng adalah untuk mengingat orang terkasih yang telah meninggal dunia. Selain itu, hari Ceng Beng juga merupakan waktu yang tepat untuk berkumpul dan mempererat hubungan bersama sanak keluarga yang datang dari jauh.
”Dalam tradisi ini kita sebagai keturunannya agar memperlakukan orang tua dengan berbakti, baik semasa mereka hidup maupun saat mereka sudah tiada,” tuturnya.
Untuk menghormati dan menunjukkan tanda bakti kepada orang tua atau leluhur, penting untuk membawa berbagai makanan favorit mereka semasa hidup.