Kenapa Banyak Orang Tua di Kotim Tak Rela Anaknya Masuk Sekolah Rakyat?

sekolah rakyat
BERKUNJUNG: Wakil Bupati Kotim Irawati bersama pihak terkait mengunjungi anak calon peserta didik Sekolah Rakyat Rintisan, Rabu (16/7). (Yuni Pratiwi/Radar Sampit)

SAMPIT, radarsampit.com – Program Sekolah Rakyat Rintisan yang ditujukan bagi warga kurang mampu di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menghadapi sejumlah tantangan, khususnya pada jenjang Sekolah Dasar (SD).

Salah satu hambatan utama bukan sekadar persoalan finansial, melainkan kekhawatiran orang tua untuk melepas anak mereka tinggal di asrama.

Bacaan Lainnya

“Banyak orang tua belum siap secara emosional untuk membiarkan anak-anak mereka yang masih kecil tinggal jauh dari rumah di lingkungan asrama. Jadi ini bukan hanya soal ekonomi,” kata Kepala Dinas Sosial Kotim, Hawianan.

Ia menjelaskan bahwa tinggal di asrama merupakan bagian dari konsep yang diusung dalam program Sekolah Rakyat oleh Kementerian Sosial.

Konsep ini dirancang agar pembentukan karakter anak bisa dimulai sejak usia dini, terutama bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera. Namun demikian, belum semua orang tua merasa sanggup menerima pola pendidikan seperti ini.

Baca Juga :  Beri Layanan Maksimal, Pemkab Kotim Carter Pesawat Angkut Calon Jemaah Haji 

”Dari pandangan kementerian, membentuk karakter anak lebih efektif sejak dini. Kalau sudah besar, pembentukan karakter lebih sulit. Tapi, kami memahami, sebagai orang tua tentu tidak mudah melepas anak yang masih kecil ke lingkungan asrama,” jelasnya.

Di Kotim, proses seleksi calon siswa sudah dilakukan. Data hasil seleksi telah dikirim ke pusat, dengan hari ini menjadi batas akhir verifikasi lapangan.

Verifikasi dilakukan bersama Badan Pusat Statistik (BPS) karena beberapa calon siswa tidak terdata dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).

”Mereka tetap kami usulkan dengan surat keterangan tidak mampu dari desa atau kelurahan. Karena walaupun tidak masuk DTSEN, secara kondisi memang layak. Makanya BPS ikut turun langsung melakukan wawancara untuk memastikan kewajaran data,” kata Hawianan.

Hingga saat ini tercatat ada 14 calon siswa SD dan 56 calon siswa SMA yang mendaftar. Kuota yang ditargetkan masing-masing jenjang sebenarnya 50 siswa.

Namun, justru untuk jenjang SD yang mengalami kekurangan peminat.

”Untuk SMA malah berlebih, sedangkan SD masih jauh dari kuota. Jika nantinya kuota SMA tetap harus 50 siswa, maka akan ada proses seleksi lagi untuk menentukan siapa yang paling layak diterima,” imbuhnya.



Pos terkait