Setelah piagam sampai di tangan Pak Iwan, kekhawatiran saya belum sirna. ”Bagaimana jika Bupati menolak, karena pihak lain belum tanda tangan?” demikian pikir saya.
Saya tinggal menunggu kabar. Jika saya diminta perlu melengkapi tanda tangan Ketua Panitia dan Ketua KONI, mau tak mau saya bergerak secepatnya. Agak ribet dan lebih lama memang jika mengikuti kelaziman.
Keesokan harinya, H-1 sebelum piagam diserahkan, kami melapor ke Bupati Kotim soal pelaksanaan kegiatan. Tak lupa juga kami menyinggung soal piagam. Ternyata, piagam itu sudah ditandatangani semua.
Secara langsung menggunakan tinta basah. Tanpa scan (pemindaian). Padahal, jumlahnya banyak dan bikin tangan pegal.
Saya menarik napas panjang. Lega, karena ternyata sifat seorang Halikinnor tak berubah. Setelah jadi orang nomor satu di Kotim pun, dia tak mempersoalkan prosedur yang rumit. Padahal, ada orang penting yang menolak atau ”menyemprot” dulu jika tanda tangan pihak lain belum ada.
Ya, kita memang memerlukan pemimpin yang berpikir dan bertindak di luar kelaziman. Melanggar prosedur untuk kepentingan yang lebih besar.
Kejurprov Catur se-Kalteng telah berakhir Minggu (3/7) lalu. Acaranya boleh dibilang sukses (ini penilaian saya pribadi dari pengamatan dan pengakuan beberapa peserta). Meski ada sedikit kesalahpahaman dengan sejumlah peserta, terutama pemenang soal hadiah lomba, akhirnya bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik.
Beberapa peserta hingga wasit menyebut sebagai turnamen catur termegah di Kalteng. Mengingat pelaksanaannya di Ballroom Hotel Werra Sampit. Sejumlah peserta mengaku puas. Bahkan, ada yang tak sabar untuk kembali ke Sampit mengikuti Pekan Olahraga Provinsi Kalteng tahun depan. Hotel tempat kami melaksanakan acara pun di-booking duluan.
Lelah tenaga dan pikiran semua panitia, terbayar dengan kesuksesan pelaksanaan kegiatan. Kotim memang juara soal acara. )*Pemimpin Redaksi Radar Sampit
