Oleh karena itu, pernyataan Prabowo soal mengungkap para koruptor harus dimaknai bukan hanya sebagai upaya mengejar nama-nama pelaku, tetapi juga sebagai langkah untuk menghancurkan budaya korupsi itu sendiri. Kita butuh perubahan besar, bukan hanya dalam hal hukum, tetapi juga dalam sistem dan budaya birokrasi.
Perlu ada reformasi menyeluruh dalam sistem perekrutan pejabat, mekanisme pengawasan anggaran, serta cara masyarakat memandang kekuasaan. Tanpa itu, pengungkapan nama-nama koruptor hanya akan menjadi sensasi sesaat yang tidak menyentuh akar persoalan.
Pemerintah ke depan harus serius dalam melakukan transformasi budaya antikorupsi. Ini bisa dimulai dari pendidikan sejak dini, transparansi dalam pengelolaan anggaran publik, penguatan peran masyarakat sipil, serta keteladanan dari para pemimpin.
Keteladanan sangat penting, karena budaya dibentuk dari apa yang dilihat dan ditiru oleh masyarakat.
Jika para pemimpin bisa menunjukkan bahwa mereka bersih, berani tegas terhadap pelanggaran, dan konsisten dalam membela kepentingan publik, maka kepercayaan masyarakat akan kembali tumbuh.
Sebaliknya, jika para pemimpin justru kompromi dengan para koruptor demi kepentingan politik atau kekuasaan, maka masyarakat pun akan semakin apatis dan pesimis.
Jadi kesimpulannya, pemberantasan korupsi bukan hanya soal siapa yang ditangkap dan siapa yang dibongkar. Lebih dari itu, ini soal perubahan budaya dan sistem.
Masyarakat perlu disadarkan bahwa korupsi bukan sesuatu yang bisa dimaklumi, sekecil apa pun bentuknya. Negara harus hadir bukan hanya sebagai penindak, tetapi sebagai teladan dan pendidik.
Kalau Prabowo benar-benar serius ingin mengungkap dan membersihkan para koruptor, maka langkah tersebut harus dibarengi dengan revolusi budaya yang membongkar akar-akar korupsi yang telah tumbuh begitu dalam.
Hanya dengan cara itulah, Indonesia bisa benar-benar bebas dari korupsi tidak hanya dalam hukum, tetapi juga dalam hati dan perilaku seluruh rakyatnya. (*)