”Sejak tahun 1980 warga sudah meninggalkan tempat ini. Saya tahu, karena saya sering lewat di sini saat mengantar sayur ke Pundu,” tegasnya.
Lubuk Bakah, lanjutnya, hanya ada di satu titik, sementara yang disoal ada enam titik. ”Mereka menuduh perusahaan menggusur. Itu tidak benar. Sebelum perusahaan masuk, mereka sudah pindah. Ada paman saya, mertua, keponakan saya, dan keluarga saya penduduk sini (Lubuk Bakah),” katanya.
Menurutnya, karena Lubuk Bakah masuk wilayah Desa Pantai Harapan, oleh Desa Pundu kemudian diserahkan ke Pantai Harapan. Di Lubuk Bakah kala itu hanya ditempati sekitar sepuluh orang warga. Setelah ditinggalkan dan saat krisis moneter, mereka yang menempati Lubuk Bakah menjual lahan itu.
”Tanah ini dulu (Lubuk Bakah) dibeli kakak saya. Almarhum Syahminan. Kemudian dijual ke Mahuldi dan dijual lagi ke Bunter, hingga terakhir dijual kepada Hendra dan oleh Hendra ditanami sawit,” katanya yang diamini oleh Hendra yang juga ada di lokasi.
Lahan itu kini dikuasai Hendra. Pihaknya memastikan tidak ada lahan perusahaan di lokasi tersebut. Syahril juga membantah bekas pondok yang diklaim sebagai peninggalan warga puluhan tahun silam.
”Rangka pondok yang mereka dokumentasikan menyebut itu bekas pondok warga dulu yang menempati Lubuk Bakah. Itu tidak benar. Ini rangka pondok yang dibangun oleh Hendra,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Tantara Lawung Adat Kalteng Ricko Kristolelu yang mewakili warga yang mengklaim mengatakan, ada oknum perangkat Kecamatan Cempaga Hulu yang tidak paham perbedaan SKT, sertifikat, dan SK kewilayahan definitif. Menurutnya, areal dukuh itu memiliki legalitas secara hukum berupa SK penetapan wilayah dukuh.
”Sangat wajar kalau tanah atau kepemilikan lahan itu berpindah tangan antarwarga. Bukan hanya di Dusun Bengkuang, di kota saja orang jual beli rumah atau pun tanah banyak terjadi, bukan kampung atau dukuhnya yang dijual-belikan,” tegasnya.
Menurutnya, yang mereka persoalkan bukan masalah personal atau per individu (sertifikat/SKT), tapi SK Dukuh Bengkuang.