Sehari sebelum kejadian, lanjut Anas, dirinya juga intens berkomunikasi. Apalagi ada beberapa kegiatan di desa yang akan dihadiri, sehingga mereka berbagai tugas untuk kegiatan tersebut.
”Hari Sabtu (28/1) beliau ada kegiatan di Desa Sumber Makmur, pertemuan dengan kades dan warga. Sedangkan saya diminta ke Desa kenyala untuk menghadiri rapat tentang koperasi,” katanya, seraya menambahkan, ternyata bosnya tetap menghadiri kegiatan di Desa Kenyala usai pertemuan di Desa Sumber Makmur.
Bukan Jantung
Kesedihan mendalam dialami keluarga besar Siagano. Sosok pejabat yang dikenal rendah hati dan murah senyum itu meninggal dunia di usianya yang ke-57 tahun. Dia meninggalkan istri, empat anak, dua menantu, dan dua cucu. Kepergiannya yang mendadak disesalkan sang istri, Yohayatti Daratna.
”Kematian itu sudah takdir Tuhan. Saya menerima itu dengan ikhlas. Tetapi, yang saya sesalkan, kenapa pergi tanpa ada saya dan anak-anak di sisinya,” ucap Yohayatti.
Pertemuannya dengan mendiang suami, Jumat (27/1) pagi, menjadi perjumpaannya yang terakhir kali. Pagi itu Siagano berangkat seorang diri mengendarai mobil menuju Kecamatan Telawang.
”Bapak minta disiapkan seragam dinas, sepatu, dan minta dibuatkan bekal makanan. Semua sudah saya siapkan di dalam mobil. Saya antarkan bapak sampai depan rumah. Tidak biasanya pamit, buka kaca mobil. Mah, berangkat dulu lah. Biasanya kalau berangkat cuma klakson mobil,” kata Yohayatti.
Yohayatti kerap mendampingi Siagano sepanjang hidupnya. Ke manapun almarhum ditugaskan, dia setia mendampingi. Namun, Jumat itu ia tak bisa mendampingi, karena harus menghadiri kegiatan di gereja yang diadakan di Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan.
”Bapak ada mengajak saya ke Telawang. Saya tidak bisa, karena sudah janji dan tidak enak tidak hadir, karena saya aktif jadi pejabat sosial di gereja. Kebetulan saya yang mengetuai,” ujarnya.
Yohayatti berangkat Sabtu (28/1) pagi dan kembali Minggu (29/1) siang. Sekitar pukul 17.30 WIB, panggilan telepon masuk dari suami. Namun, bukan suaminya yang bersuara.