SAMPIT – Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) Kalteng merespons usulan sidang adat yang digulirkan sejumlah pihak. Ketua DPW TBBR Kalteng Agus Sanang menuturkan, pihaknya tak dapat menyetujui ataupun menolak. Pasalnya, hingga saat ini pihaknya tak mengetahui secara detail pelanggaran adat yang dituduhkan.
”Kami dari pengurus masih mengadakan rapat. Usulan sidang adat yang bagaimana? Sampai saat ini saja, tuduhan itu tidak jelas. Kesalahannya di mana? Kalaupun TBBR melanggar adat, melanggar adat yang seperti apa? Semua tuduhan itu tidak dijelaskan,” ujarnya.
Agus menambahkan, setelah aksi gabungan ormas pada Jumat (26/11) lalu, dia mengaku menerima telepon dari beberapa ormas yang menarik diri. ”Beberapa ormas menyatakan menarik diri karena keikutsertaan mereka dalam aksi di lapangan. Mereka sebenarnya juga tidak tahu titik permasalahannya. Dari beberapa kabupaten sudah menarik diri dan mendukung TBBR,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerhati adat budaya Kalteng Darmae Nasir mengatakan, apabila TBBR melanggar adat dan budaya Dayak Kalteng seperti tudingan sejumlah ormas yang menggelar aksi pekan lalu, harusnya selesaikan secara adat dan budaya Dayak juga. ”Musyawarah dan saling menjunjung tinggi falsafah huma betang. Bukan dengan aksi atau hal lainnya,” katanya.
Penyelesaian secara adat, lanjutnya, bisa difasilitasi tim netral dari para Damang. Hal itu sesuai ketentuan Perda Kalteng Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng yang menyebutkan, persoalan adat budaya, yang berhak menyelesaikannya adalah para damang yang diangkat dan diberhentikan oleh bupati/wali kota.
”Polemik itu harus diselesaikan dengan musyawarah. Difasilitasi dengan orang-orang yang dituakan, yakni Damang. Nah, mereka itu yang menyelesaikan. Mereka adalah perangkat yang bertugas menjaga dan menegakkan adat budaya Dayak. Kita percayakan persoalan itu untuk diselesaikan Damang,” ucapnya.
Koordinator Lapangan Aksi Koalisi Organisasi Masyarakat Dayak Kalteng Bambang Irawan mengatakan, tak keberatan apabila digelar pertemuan terkait penyelesaian polemik tersebut, salah satunya melalui sidang adat. ”Salah atau benar apa yang dilakukan, sidang adatlah yang menentukan dan itu harus dijalankan, karena keputusan adat. Apa yang disuarakan ini adalah keluhan masyarakat dan bukan fitnah tentang keberadaan mereka,” tegasnya. (hgn/ign)