Akhirnya Terbongkar, Begini Modus Permainan Proyek Aspirasi

proyek aspirasi
Ilustrasi. (net)

SAMPIT – Proyek aspirasi yang sering disebut sebagai pokok pikiran (pokir), jatah anggaran pembangunan yang bisa diarahkan wakil rakyat, dalam pelaksanaannya disinyalir menyimpang. Ada ceruk haram yang bisa dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Radar Sampit menelusuri dan memperoleh informasi dari sejumlah narasumber terpercaya yang memahami betul bagaimana pokir itu dilaksanakan. Menurut sumber tersebut, pokir awalnya memang ditujukan untuk pembangunan di masing-masing daerah pemilihan legislator.

Bacaan Lainnya
Gowes

Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, kerap ada penyimpangan. Di antaranya, deal ataupun uang fee dari rekanan atau dinas untuk oknum yang memiliki pokir tersebut. Hal itu salah satunya pernah mencuat pada 2016 silam, mengenai pengaplingan proyek oleh oknum DPRD Kotim yang sempat jadi sorotan.

”Biasanya dapat fee itu paling banyak lima persen kalaupun paket itu diserahkan ke dinas dan dikerjakan SOPD teknis sesuai ketentuan dan mekanisme. Jadi, pemilik pokir hanya dapat fee paling lima persen dari nilai kontrak,” ujar sumber tersebut.

Akan tetapi, lanjutnya, apabila dikerjakan sendiri, bisa mendapatkan keuntungan lebih besar. Bahkan 25 – 30 persen dari nilai kontraknya. Apalagi untuk pekerjaan fisik seperti irigasi, bangunan, dan lainnya. ”Paling besar dan untung kalau dikerjakan sendiri,” ujarnya.

Baca Juga :  Jeritan dan Tangisan Para Ibu di Tengah Demo Kecam Perkebunan Sawit

Untuk menghindari persoalan hukum di kemudian hari, lanjut sumber ini, proyek itu dikerjakan dengan perusahaan pinjaman. ”Biasanya pinjam perusahaan orang lain. Jadi kami hanya tinggal bayar fee sewa perusahaan saja kepada orang tersebut sebagai pemilik perusahaan,” katanya.

Namun, lanjut dia, jika proyek itu dikerjakan rekanan yang merupakan utusan oknum pemilik aspirasi, biasanya paling banyak sepuluh persen dari nilai kontrak. ”Misalnya kita punya aspirasi nilainya Rp 1,5 miliar, lalu kontraktor penujukan kita sendiri  mengerjakan semua pokir senilai Rp 1,5 miliar itu, maka pemilik pokir hanya terima sepuluh persen atau Rp 150 juta. Itu terima beres saja,” jelasnya.

Terpisah, mantan Ketua DPRD Kotim periode 2014-2019 Jhon Krisli mengatakan, saat dia menjabat memang ada pokir untuk setiap anggota DPRD. Dia mengaku telah mewanti-wanti agar tidak main-main dengan proyek itu. Legislatif hanya sampai kepada tataran mengusulkan dan memastikan masuk Perda APBD Kotim.



Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *