Hal itu memperlihatkan korps Adhyaksa tersebut tak ubahnya hanya berlaku sebagai penasihat hukum atau pembela terdakwa, karena dalam dalil tuntutan menyatakan pihak keluarga korban telah menerima santunan dari Rp70-100 juta. Termasuk adanya sidang adat perkara tersebut.
”Aneh bin ajaib, karena faktanya santunan tersebut bukan dari terdakwa, namun dari pihak lain. Lebih saktinya lagi, pertimbangan soal santunan juga digunakan Majelis Hakim untuk memvonis terdakwa sepuluh bulan penjara. Lebih rendah dari tuntutan jaksa,” katanya.
Dia menegaskan, putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya dalam perkara itu telah mencoreng cita-cita negara hukum. Vonis yang diberikan tidak membawa keadilan bagi korban dan keluarganya.
”Putusan ini juga kami nilai sebagai ancaman demokrasi bagi masyarakat yang ingin menuntut hak konstitusinya, karena tidak memberi efek jera bagi pelaku pembunuhan atau pada kasus-kasus yang lain kedepannya,” ujarnya.
Nugroho menduga perkara itu telah diskenariokan sejak awal untuk memvonis ringan pelaku dan putusannya menutup kasus.
”Walaupun putusan lebih rendah dari tuntutan jaksa, kami pesimis jaksa akan melakukan upaya banding. Sehingga kasus ini pun akan dinyatakan ditutup dan mempunyai kekuatan hukum tetap,” katanya.
Menurut Nugroho, hakim dan jaksa tidak menyentuh surat dari LPSK dengan Nomor A.1663/R/KEP/SMP-LPSK/VI tahun 2024 tentang Penilaian Ganti Rugi. Surat tersebut menyatakan permohonan fasilitasi restitusi berupa penilaian ganti rugi korban tindak pidana yang diajukan Mana (ibu kandung Gijik, korban tewas) sebesar Rp2.273.043.500.
”Kami telah memasukan surat ini ke PTSP Kejaksaan Tinggi pada 5 Juni 2024 dan ke Pengadilan Negeri Palangka Raya pada 7 Juni 2024, sehingga tidak ada alasan kedua instansi itu tidak mengetahui soal keberadaan surat dari LPSK. Pihak Majelis Hakim pun menolak Amicus Curiae (sahabat peradilan) yang diajukan rekan-rekan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Palangka Raya,” tegasnya lagi.
Nugroho menambahkan, almarhum Gijik maupun korban luka, Taufik Nurahman, serta warga Desa Bangkal lainnya hanya mengungkapkan pendapatnya di muka umum. Mereka menuntut PT Hamparan Bangunan Masawit Persada (HMBP) I merealisasikan 20 persen lahan untuk masyarakat dan pengembalian tanah warga Desa Bangkal seluas 1.175 diluar HGU perusahaan.