”Ke mana sisa dana itu? Itu yang harusnya ditelusuri,” ujarnya.
Haruman menjelaskan, alokasi anggaran pembangunan jalan di masing-masing desa sempat terjadi perubahan, yakni dari Rp 500 juta menjadi Rp 385 juta dalam rancangan anggaran dan belanja desa (RAPBDes). Dengan demikian, total proyek itu menelan anggaran sekitar Rp 4,2 miliar.
Dari anggaran tersebut, lanjutnya, kontraktor hanya dibayar sebesar Rp 2,1 miliar. Tunggakan sisa pembayaran kemudian ditagih melalui gugatan wanprestasi di Pengadilan Negeri Kasongan yang dimenangkan Asang. Putusan itu diperkuat lagi oleh Pengadilan Tinggi Palangka Raya.
”Itu berarti bukti bahwa jalan sepanjang 43 kilometer tersebut fakta dan sudah dibangun. Bukan fiktif, sehingga (Asang) menagih sisanya,” katanya.
Lebih lanjut Haruman mengatakan, perkara itu sifatnya administratif dan tidak ada bukti lain. Hanya bukti surat ke kades agar datang untuk undangan rapat terkait pembangunan jalan.
”Tidak ada serupiah pun (Hernadie, Red) menikmati. Jadi keterangan (mantan) camat ini diabaikan penyidik. Kasus ini akan besar seperti kasus Pinangki (jaksa yang terbukti menerima suap, Red). Tidak ada unsur paksaan. Dakwaan itu tidak sesuai seratus persen. Itu salah!” tegasnya.
Haruman mengatakan, pihaknya akan mengungkap perkara itu dalam eksepsi atau pembelaan beserta pembuktiannya. ”Perkara tipikor ini bukan delik aduan, tapi temuan. Jadi, temuan ini penegak hukum harus telusuri siapa yang menikmati dana ini. Sisa anggarannya ke mana?” ucapnya.
Kuasa hukum Hernadie lainnya, Suriyadi, mengatakan, tersangka dalam kasus itu harusnya sebelas kades jika mengacu UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Desa. Pada Pasal 26 Ayat 2 Huruf c dan Huruf e, mengatur bahwa kepala desa berwenang memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan aset desa serta menetapkan APBDes.
”Dengan demikian, penggunaan dana desa untuk pekerjaan membuat jalan tembus antardesa sepanjang 43 km tahun 2020, mutlak kewenangan sebelas kepala desa, bukan mantan Camat Katingan Hulu,” tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, mantan Camat Katingan Hulu Hernadie didakwa memaksa sebelas kepala desa di wilayahnya menyetor masing-masing sebesar Rp 500 juta dari dana desa untuk membangun jalan. Namun, hal itu diduga hanya modus untuk mengeruk keuntungan hingga negara dirugikan sebesar Rp 2.107.850.000.