Deflasi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun ini kata Guru Besar bidang Ilmu Menajemen Universitas Muhammadiayah Surakarta (UMS) Prof Anton Agus Setyawan dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat. Kondisi tersebut jelas berdampak pada sektor ekonomi Indonesia.
Menurut Anton, penurunan daya beli masyarakat dapat dilihat dari menurunnya konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sektor perdagangan dan jasa pun turut terdampak, mengingat menurunnya pengeluaran masyarakat.
Seperti dikatakan Anton dalam keterangan resmi di website UMS, pada awal 2025, hampir 14.000 pekerja formal kehilangan pekerjaan akibat penurunan di sektor manufaktur. Dan ini mempengaruhi pendapatan rumah tangga serta berdampak pada daya beli masyarakat yang turun.
Ekonom UMS itu mengusulkan beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Dalam jangka pendek, pemerintah dapat memperluas penerima manfaat dari program bantuan sosial, seperti program Keluarga Harapan, dengan menambah jumlah keluarga yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Hal ini akan membantu meningkatkan daya beli masyarakat yang terdampak langsung.
Selain Anton, hal senada juga disampaikan oleh Ekonom dan Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai penurunan daya beli ini bukan sekadar fluktuasi ekonomi, namun mencerminkan tantangan yang harus segera diatasi.
Data BPS menunjukkan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut dari 21,5 persen pada 2019 menjadi 17,1 persen pada 2024.
Data tersebut menunjukkan sekitar 10 juta individu mengalami ketidakpastian ekonomi tanpa mendapat bantuan signifikan dari pemerintah.
Kondisi penurunan daya beli juga diamini oleh pedagang Pasar Tanah Abang, karena pada momentum Lebaran 2025 pusat grosir itu tidak seramai tahun sebelumnya.
Penurunan omzet di Tanah Abang bukan hanya sekedar persaingan dengan toko daring, tapi yang paling terasa karena daya beli masyarakat menurun.