Dia mengatakan bahwa tingkat kepercayaan survei tersebut 95 persen. ’’Penelitian ini sudah mendapatkan izin etik dari Komisi Etik Kesehatan yang merujuk pada tingkat kredibilitas dan validitas hasil,” imbuhnya.
Sebanyak 62 persen responden menyatakan bahwa kesepian mereka disebabkan ketidakcocokan pergaulan atau ketidaksesuaian dengan orang-orang di sekitarnya. Ray menambahkan, bahkan kelompok usia muda dan produktif juga merasa kesepian.
’’Perlu ada support system agar tidak merasa kesepian,” ujar dosen kedokteran kerja di Departemen Kedokteran Komunitas FKUI tersebut.
Yang menarik, dari survei itu terlihat bahwa status perkawinan juga punya kontribusi signifikan dalam membentuk kesepian. Sebanyak 60 persen responden yang berstatus single, belum menikah atau bercerai, cenderung mengalami kesepian derajat sedang hingga berat.
’’Kondisi itu dialami perempuan. Jadi, perempuan memang lebih rawan kesepian jika tidak dalam ikatan pernikahan,” ujar Ray.
Kendati ada begitu banyak faktor lain yang turut berkontribusi dalam menciptakan rasa kesepian, hasil survei HCC cukup representatif untuk membaca kebutuhan masyarakat modern.
Khususnya, Jabodetabek. Bahwasannya, kesepian adalah kondisi mental yang tidak bisa diselesaikan dengan hanya menambah gemerlap lampu atau menghadirkan lebih banyak hiburan dan pusat keramaian.
September lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis global recommendation terkait kesepian. ’’Menurut WHO, kesepian dapat meningkatkan risiko kematian sampai 45 persen. Ancaman kesepian sama besarnya dengan merokok 15 batang setiap hari,” ujarnya.
Ray berharap penelitian yang mengacu pada UCLA Loneliness Scale itu bisa menjadi bahan diskusi dan rekomendasi bagi masyarakat luas. Terutama bagi pemerintah dan para tenaga kesehatan. ’’Hasil studi ini diharapkan bisa menjadi pemantik diskusi pentingnya kesehatan jiwa di Indonesia,” tandasnya. (lyn/c7/hep)