“Rasanya itu terima enggak terima. Ini anak pertama masih kecil harus mengalami sakit seperti ini. Apalagi kalau melihat badannya lemas, wajahnya pucat, sedih sekali hati saya,” ucapnya sambil meneteskan air mata yang tak dapat lagi terbendung.
Namun, lambat laun Sumantri mulai menerima dengan ikhlas cobaan hidup yang dialami putrinya. “Sekarang pelan-pelan sudah menerima. Bersyukur, selama di rumah sakit ini semua pelayanan, pengobatan dan urusan administrasi begitu mudah. Saya tinggal datang bawa anak langsung dilayani, jadi tahu beres dilayani semua. Karena, kami semua dibantu oleh POPTI. Pelayanan di rumah sakit juga sangat baik, kami tidak perlu antre obat, sudah disiapkan, karena anak kami sudah menjadi pasien tetap di sini,” ujarnya.
Meski demikian, Sumantri dan suaminya harus mengantar anaknya dari Jalan Jenderal Sudirman KM 45 menuju rumah sakit.
“Saya asalnya dari Pulang Pisau, di sini ikut suami kerja di SKD. Perjalanannya sekitar satu jam. Walaupun lumayan jauh, kami bersyukur ketika datang, langsung masuk ruangan anak saya langsung lekas ditangani sesuai giliran,” katanya.
Karnani dan Sumantri hanya dua orang tua dari sekian banyak orang tua yang berdomisili jauh dari Kota Sampit. Para orang tua ini harus menempuh jarak hingga berjam-jam agar dapat tiba mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
“Pasien Thalesemia yang rutin menjalani transfusi darah di rumah sakit ada yang dari Seruyan, Katingan, Sangai, dan kecamatan lain di wilayah Kotim yang jauh dari rumah sakit. Ini yang membuat saya prihatin,” kata Renny Septio Dewi, Ketua Perhimpunan Orang Tua Penyandang Thalesemia Indonesia (POPTI) Cabang Sampit.
Atas rasa keprihatinan itu, Renny (37) bersama suaminya Yohannes Djoni Hasan (62) memberanikan diri menyediakan rumah singgah di Jalan Batu Granit. Rumah singgah itu sudah disewanya sejak Mei 2021 lalu. Ukurannya tak begitu besar. Hanya mampu menampung tiga pasien plus pendamping. Rumah itu sebenarnya bukanlah rumah yang utuh. Tempatnya lebih mirip kos-kosan atau barak.