“Dalam waktu dekat ada 5-7 daerah yang didorong untuk segera dibentuk BNN daerah. Namun, semua tetap kembali kepada peraturan dan harus sesuai kriteria penilaian dan dikarenakan ada perubahan peraturan BNN, ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan untuk pembentukkan BNNK,” katanya.
Untuk memenuhi kriteria penilaian pembentukan instansi vertikal , sesuai Peraturan BNN Nomor 6 Tahun 2021 ada dua unsur yang harus dipenuhi yaitu unsur pokok dan penunjang.
Unsur pokok meliputi, kondisi wilayah, tingkat kasus tindak pidana narkotika dalam tiga tahun terakhir, jumlah tersangka tindak pidana narkotika dalam 3 tahun terakhir, jumlah pecandu narkotika, kasus tindak pidana umum lainnya, jumlah tempat hiburan malam, objek wisata, jumlah wisatawan domestic dan mancanegara.
Selain itu, penerapan regulasi pemda tentang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), pembentukan Satgas P4GN Daerah, Sarana Institusai Penerima Wajib Lapor (IPWL) serta perlu memperhatikan kawasan ekonomi khusus dan produk domestic regional bruto (PDRB).
“Dari unsur penunjang juga diperlukan kesiapan tanah dan gedung, SDM, nilai anggaran, ketersediaan anggaran, alat olah data, peralatan mesin, meubelair,” katanya.
Saat ini, BNN RI telah mendata 37 usulan pembentukkan BNNK/Kota salah satunya usulan dari wilayah Kabupaten Kotim.
“Data usulan pembentukan BNNK/Kota yang sudah masuk (diterima) baru 13 kabupaten/kota diwilayah Provinsi Gorontalo, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Bali, Sulawesi Selatan. Data usulan BNNK baru ini belum disesuaikan dengan pedoman pembentukan sesuai Peraturan BNN Nomor 6 Tahun 2021,” katanya.
Pada pertemuan di Aula Kantor BNN RI, Wakil Bupati Kotim Irawati berkesempatan menyampaikan audiensi tentang pentingnya pembentukan BNNK di Kotim. Irawati mengatakan rencana pembentukkan BNNK sebagai bukti keseriusan Pemkab Kotim dalam menangani dan menekan angka kasus penyalahgunaan narkoba.
Hal itu didasari atas tingginya kasus penyalahgunaan narkoba dari tahun ke tahun di Kotim. Secara rinci, Irawati memaparkan grafik yang menunjukkan peningkatan cukup tinggi pada tahun 2022 sebanyak 148 kasus dan tahun 2023 sebanyak 188 kasus.