Pertahankan Haknya, Kades dan Warga di Kalteng Ini Jadi Tersangka

Desakan Penghentian Proses Hukum Mulai Bergaung

open utama (2)
AKSI DAMAI: Ratusan warga Desa Waringin Agung menggelar unjuk rasa mendesak Polda Kalteng menghentikan proses hukum yang menyeret kepala desa dan warga setempat terkait pengrusakan pos keamanan perkebunan. (Istimewa/Radar Sampit)

SAMPIT, radarsampit.com – Tajamnya pedang hukum menghujam masyarakat Desa Waringin Agung, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah. Bermodal laporan perusahaan perkebunan, aparat Polda Kalteng menetapkan kepala desa dan seorang warga setempat jadi tersangka pengrusakan pos keamanan PT Bangkitgiat Usaha Mandiri.

Proses hukum itu memantik reaksi ratusan warga Desa Waringin Agung. Mereka melakukan aksi damai di desa tersebut, Kamis (22/6). Warga meminta Polda Kalteng mengkaji ulang atau menghentikan proses hukum terhadap kepala desanya, Muhadi, dan Ahmad Sobirun, warga yang ditahan.

Bacaan Lainnya

”Kepala desa memperjuangkan hak tanah warga, khususnya eks transmigrasi di Desa Waringin Agung yang diserahkan pemerintah. Lahan itu digarap PT BUM. Kepala desa bertanggung jawab memperjuangkan hak warganya, malah dikriminalisasi oleh perusahaan untuk dipenjarakan,” kata koordinator aksi, Margono.

Menurut Margono, seharusnya Polda Kalteng menjadi mediator menyelesaikan masalah warga Waringin Agung dengan PT BUM. Menurutnya, selama ini PT BUM tak memiliki iktikad baik untuk berunding atau merespons tuntutan warga. Hal tersebut memicu kekecewaan warga hingga melakukan aksi di luar kendali, yakni pengerusakan pos keamanan.

Baca Juga :  Diduga Korsleting, Rumah Beton di Baamang Hangus Terbakar

Margono menilai, proses hukum yang sedang berjalan di Polda Kalteng merupakan bentuk diskriminasi hukum terhadap warga transmigrasi yang sedang membela haknya. ”Apabila kepala desa beserta warga mempertahankan hak dianggap pengrusakan, di mana letak keadilan bagi kami, warga transmigrasi yang haknya dirampas?” ujar Margono.

Pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Pemkab Kotim maupun Pemerintah Provinsi Kalteng. Akan tetapi, tetap saja perusahaan ingin mengambil paksa tanah masyarakat tanpa melakukan komunikasi dan kesepakatan dengan masyarakat setempat.

”Mereka tidak menggubris. Kalau bisa, tanah di Antang Kalang ini dihabisinya, masyarakat suruh ke mana? Sebetulnya, sesuai peraturan pengambilan izin HGU pasal 5 yang disebutkan, bila di situ ada lahan hak masyarakat, kebun, sawah, ladang, tidak dilepaskan,” ujarnya.



Pos terkait