Desa Tumbang Kabayan menjadi lokasi utama yang kami kunjungi. Jaraknya sekitar 30 menit dari Tumbang Sanamang. Kelotok dengan mesin 20 PK (Paar den Kracht/daya kuda) yang kami tumpangi perlahan merapat di jamban apung warga. Ada dua perahu yang lebih dulu parkir berderet di ”dermaga” kecil itu.
Dengan cermatnya Deli memarkir kelotoknya di deretan ketiga. Rekannya melompat lebih dulu menambatkan tali. Tak jauh di pinggir sungai yang berjarak sekitar tiga meter, seekor anjing memperhatikan gerak-gerik kami yang bergiliran melompat ke jamban apung. Meski kami ”orang baru”, hewan peliharaan warga setempat itu seolah sudah biasa dengan tamu asing di wilayahnya.
Kami menaiki tangga yang tingginya sekitar tiga meter untuk menemui warga setempat. Sekitar 15 menit kami menghabiskan waktu di desa itu. Tak lama, karena kepala desa yang ingin kami temui tak ada di tempat. Kami hanya meminta keterangan dari sekretaris desa. Itu pun sangat minim informasi yang bisa digali.
Saat turun kembali ke jamban apung, kami sempat terpaku melihat bungkusan makanan yang kami simpan dalam plastik sudah berhamburan. Makanan itu memang sengaja kami tinggal di kelotok. Agak merepotkan jika dibawa menemui warga.
Rupanya, selagi menggali informasi, anjing yang memperhatikan kami saat tiba tadi beraksi. Ketajaman penciumannya bisa mengendus makanan di atas kelotok yang diparkir di deretan ketiga. Hewan itu melompati satu per satu kelotok yang ditambat berdempetan. Lalu mencabik-cabik plastik makanan. Kemudian pergi sebelum kami kembali.
Kami hanya bisa pasrah. Semua makanan di plastik terpaksa dibuang. Meski bekal hilang, kami tetap melanjutkan perjalanan, sambil ”mengutuk” anjing kelaparan yang membuat ”bahan bakar” kami melayang.
Hewan serupa kerap kami temui di desa lainnya yang kami datangi. Dibiarkan berkeliaran di perkampungan. Anjing-anjing itu tak pernah menyalak atau menyerang. Dugaan saya, kemungkinan disebabkan binatang itu dilepas bebas, sehingga terbiasa dengan manusia lain selain sang empunya.