Kejadian tak mengenakkan sempat kami rasakan ketika mengunjungi salah satu desa. Pucuk pimpinan yang kami harapkan ada di kediamannya. Saat kami tiba, dia tengah duduk santai di depan rumah bersama sejumlah warga lainnya.
Dia baru saja memperbaiki mesin. Kedua tangannya menghitam oleh noda oli. Pun demikian dengan sebagian baju yang dikenakan. Dia lalu bertanya tujuan kami mendatanginya. Lalu meminta surat tugas.
Setelah kami memberi sedikit penjelasan, dia meminta waktu ke belakang, sambil membawa kunci T besar yang sedari tadi digenggamnya. Kami mengira dia membersihkan diri agar lebih siap kami wawancarai.
Setelah menunggu sepuluh menit lebih, pejabat desa itu kembali. Ternyata penampilannya tak berubah. Masih dengan noda oli. Tangan kanannya menggenggam erat kunci T.
Dia kembali menanyakan maksud kami menemuinya. Tangan yang menggenggam kunci besi sedikit digoyang-goyangkan, seolah memberikan intimidasi di depan rekan saya. Salah ucap sedikit saja, kunci itu bisa melayang.
Saya langsung mendekat, mengeluarkan tiga kartu pers yang sudah saya siapkan; kartu identitas perusahaan, kartu anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan kartu wartawan utama yang dikeluarkan Dewan Pers. Barulah tensi pria itu agak turun.
Dia lalu meminta untuk memotret tiga kartu itu. Sebagai pegangan. Pimpinan desa itu lalu masuk ke dalam rumah. Kunci T yang tadi digenggamnya akhirnya dilepas. Diletakkan di lantai teras.
Dari dalam rumah, dia kembali membawa buku besar dan ponsel. Lalu meminta saya mengisi buku tamu desa itu. Sembari saya menulis, dia mengabadikan semua kartu saya. Bolak-balik memotretnya.
Sesekali kami melempar candaan untuk mencairkan suasana. Saya juga memberikan penjelasan betapa pentingnya pernyataannya. Dia akhirnya bersedia diwawancara.
Lima belas menit lebih kami melemparkan berbagai pertanyaan padanya. Terkait proyek jalan yang menyeret dua tersangka. Saat wawancara mencapai puncaknya, seorang pria tanpa mengenakan baju yang sedari tadi hanya memperhatikan, langsung memotong pembicaraan.