Habiskan Jutaan Rupiah, Memilih Tetap Bertugas demi Pendidikan di Pedalaman

Perjuangan Berat Tenaga Kontrak Mengikuti Seleksi Tahap Kedua (2-Habis)

tekon guru naik perahu demi ikut tes seleksi (hgn)
PENUH PERJUANGAN: Tenaga kontrak guru menggunakan perahu untuk mengikuti seleksi tahap kedua di Sampit, Minggu (24/7). (IST/RADAR SAMPIT)

Jumiati berharap pemerintah lebih memperhatikan dan memprioritaskan putra-putri daerah Kotim yang sudah jelas mau mengabdikan diri meski di pedalaman. ”Saya ini asli putri daerah Kotim yang ingin memajukan daerah kelahiran saya. Cuma kami yang siap bertahan mengajar. Harapan saya itu saja,” ujarnya.

Ada pula Budiani yang memutuskan berhenti mengajar setelah dinyatakan tidak lulus mengikuti tes pertama. Budiani mencoba peruntungan lagi mengikuti tes kedua kalinya, Senin (25/7) lalu.

Bacaan Lainnya

”Sejak nama saya dinyatakan tidak lulus, saya memutuskan tidak mengajar dulu. Gimana kerja kalau jelas sudah tidak dianggap. Siapa yang mau menggaji? Pakai dana BOS (bantuan operasional sekolah) tak sanggup,” ujar guru yang mengajar di SDN 1 Tehang, Kecamatan Parenggean ini.

Di tempatnya mengajar ada lima guru PNS dan tiga guru honor. Selama lima bulan terakhir, guru honor belum menerima gaji lancar dari dana BOS. ”Gimana mau pakai dana BOS, tiga guru yang ada saja sudah lima bulan belum terima gaji. Dapatnya Rp 700 ribu per bulan. Gaji juga lambat dicairkan. Baru dua hari ini saja mereka terima gaji,” ujarnya.

Baca Juga :  Bersitegang di Ruang Persemayaman Jenazah Korban Bentrok Bangkal

Meski demikian, nasib koleganya jauh lebih beruntung dibandingkan dirinya beberapa tahun silam. Pada 2006, Budiani hanya digaji tiga kaleng beras. ”Saya honor dari Januari 2006, gaji saya hanya dibayar tiga kaleng beras. April 2008 baru diangkat jadi tenaga kontrak,” ujarnya.

Perjuangannya mengikuti evaluasi tahap II juga penuh liku. Dia berangkat Minggu (24/7) siang. Di tengah perjalanan, sekitar pukul 14.30 WIB, ban mobil yang dikemudikan adik iparnya patah baut.

Setelah diperbaiki berjam-jam, perjalanan dilanjutkan. Namun, belum sampai Sampit, ban kembali mengalami patah baut di Jembatan Bajarum, Kotabesi.

”Sampai Kotabesi saya minta jemput teman. Sampai Sampit jam setengah sebelas malam. Biaya perjalanan habisnya Rp 1 juta,” ujarnya.

Budiani berharap panitia seleksi bersikap adil, tak memihak siapa pun. ”Nilai kami ini dari kinerja kami. Kalau dari nilai itu untung-untungan saja. Bisa saja nasib kami baik, bisa juga tidak. Kami ini dituntut lanjut sekolah sampai sarjana S-1. Sudah selesai sekolah, justru diberhentikan. Tidak diluluskan. Saya hanya berharap dengan pemerintah, bersikaplah seadil-adilnya,” katanya.



Pos terkait