Dapat diambil kesimpulan, yang dimana dalam terjadinya kasus tersebut telah timbul pertanyaan ialah mengapa kepala desa menemeng bisa melepaskan tanah pecatu dari masyakat kepada orang yang tiba tiba mengeklaim tanah tersebut. Disini dugaan penyalahgunaan wewenang semakin santer terdengar karena pelepasan tanah pecatu ini tidak melalui aturan yang ada, camat tidak mengetahui, termasuk BPD hingga bupati tidak mengetahui. Kades secara sepihak mengeluarkan surat pelepasan tanah pecatu itu kepada pengklaim dan kerugiannya tidak tanggung – tanggung ditaksirkan mencapai Rp 4,6 miliar lebih.
Menurut penulis salah satu faktor penyebabnya ialah masalah tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah dikarenakan banyak data yang berubah atau kurang teratasi dengan baik. Dimana sengketa adalah perselisihan tanah yang melibatkan badan hukum, lembaga atau perseorangan dan secara sosio-politis tidak memiliki dampak luas. Praktik yang ada di dalam sengketa tanah ini dapat dimainkan oleh seorang mafia yang memiliki tindakan buruk untuk menguasai keberadaan tanah tersebut tanpa mengetahui asal usulnya. (*)