Aziz menekankan, Gapki sangat konsen dalam mencari solusi membangun Kalteng lebih baik. Karena itu, harus ada fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Namun, jika tidak ada kebun, difasilitasi usaha produktif, pola bagi hasil, dan tidak harus ditanami sawit.
”Jika masyarakat ingin melakukan pengelolaan sapi atau perikanan, bentuk plasma 20 persen tersebut bisa diwujudkan. Kami juga masih menunggu penetapan nilai optimum produksi untuk acuan perusahaan wajib memberikan fasilitas bagi masyarakat,” ujarnya.
Aziz menambahkan, fasilitasi pembangunan kebun masyarakat hanya diberikan satu kali. Misalnya, kebun punya 10 hektare, maka kewajiban plasma 20 persen dan ditentukan dengan nilai optimum yang ditentukan masyarakat. Penggunaannya ditentukan sesuai kesepakatan bersama dengan sistem kemitraan.
”Tergantung perusahaan berapa tahun pemberiannya. Makanya, kami minta juga agar semua perusahan masuk Gapki untuk lebih memudahkan koordinasi,” kata mantan Ditjen Perkebunan Kementan ini.
Plt Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rizky R Badjuri mengatakan, belum semua perkebunan besar di Kalteng merealisasikan pembangunan kebun masyarakat sekitar minimal 20 persen dari luas lahan. Padahal, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 tahun 2021 tentang fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20 persen dari areal kebun yang diusahakan perusahaan perkebunan.
”Memang 20 persen itu belum ada komitmen. Belum ada kejelasan tentang ketetapan angka, karena harga optimum itulah yang menjadi dasar perhitungan. Jadi, secara bertahap penyelesaian konversi 20 persen terkait fasilitasi pembangunan kebun masyarakat,” katanya.
Dia menekankan, jika nantinya terbit aturan dan tercapainya kesepakatan angka optimum, maka regulasi harus ditaati. ”Jika sudah disepakati, kami akan melakukan penertiban dan pengawasan,” ujarnya.
Perwakilan Gapki Kalteng Dwi Dharmawan meminta pelaku usaha perkebunan kelapa sawit taat aturan. Dia juga mengharapkan dukungan stakeholder dan masyarakat agar bisa mengoptimalkan pembangunan kebun masyarakat.