Teror Ketuk Pintu Hantui Warga, Rumah Didatangi Makhluk Misterius

teror
Ilustrasi. (Budiono/Jawa Pos)

Kabar itu dibenarkan Imam Sholikin, warga Kelurahan Kartoharjo yang bersebelahan dengan Desa Klitik. Bahkan, dia mengalami peristiwa cukup menyeramkan. Pada Jumat Kliwon (23/7), kondisi di lingkungan tempat tinggal Sholikin sangat sepi, berbeda dengan hari-hari biasanya. Hawa, yang kata orang Jawa diistilahkan dengan sintrum, itu membuatnya keluar rumah untuk melihat-lihat.

Waktu itu jarum jam menunjukkan pukul 00.30. Sholikin kaget bukan kepalang saat melihat keranda terbang sangat cepat dari selatan turun ke rumah yang tak jauh dari rumahnya. Melihat keranda terbang tersebut, dia langsung bergegas masuk ke rumah lagi.

Bacaan Lainnya

”Warnanya seperti keranda biasanya dengan kain penutup warna hijau. Tapi, anehnya di depan ada semacam kain merah,” jelas Sholikin pada Rabu (28/7). Sholikin makin kaget setelah esoknya di daerah keranda terbang itu turun ada lelayu atau kabar kematian.

Dia akhirnya bercerita kepada sesepuh setempat soal kejadian tersebut. Memang, fenomena keranda terbang maupun ketuk pintu di Desa Klitik maupun Kelurahan Kartoharjo tak terlepas dari tulodo atau pertanda. Sebagaimana yang dipercayai orang terdahulu, fenomena keranda terbang dengan kondisi pagebluk seperti saat ini. ”Sopo sing cedak karo Pangeran bakal mukti atau selamet,” tuturnya. Artinya, siapa yang dekat dengan Tuhan akan selamat.

Baca Juga :  Kecelakaan Maut di Tol Nganjuk, Anak Vanessa Angel Selamat

Cerita Lampor Terkait Pandemi Covid-19

Dosen Antropologi Universitas Negeri Semarang (Unnes) Dr Gunawan menyatakan, fenomena lampor atau keranda terbang di Ngawi harus dilihat secara cermat. Kepercayaan terhadap hal mistis nyaris ada di semua masyarakat. Namun, dalam perspektif antropologi, bentuk narasi cerita mistis sangat kultural sesuai dengan konteks di setiap daerah.

”Di Ngawi atau seluruh masyarakat Jawa mungkin mengenal cerita soal lampor. Tapi, saya yakin cerita soal lampor ini tidak ada di masyarakat Bali,” katanya.

Sebab, perlakuan terhadap orang yang meninggal berbeda. ”Bahkan, memedi di daerah lain akan sangat berbeda sesuai dengan konteks daerah masing-masing,” ujar lulusan doktor antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.



Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *