Kalau ada permasalahan internal kepolisian, masyarakat sudah akan menyimpulkan apa hasilnya. “Masa jeruk makan jeruk. Apalagi, ini sekeranjang jeruk,” tuturnya.
Sementara itu Komnas HAM menggandeng Komnas Perempuan dalam upaya membuat terang peristiwa meninggalnya Brigadir Yosua. Komnas HAM melihat Komnas Perempuan punya pengalaman panjang dalam menangani kasus dugaan kekerasan seksual. Tentu, dalam konteks ini, adalah Putri Candrawathi yang berstatus pelapor korban.
Komisioner Komnas HAM M. Choirul Anam menjelaskan dalam kasus meninggalnya Yosua pihaknya tidak bisa melepas begitu saja pengaduan Putri terkait ancaman pembunuhan dan kekerasan seksual. Meski, sampai saat ini belum ada perkembangan signifikan terkait dengan pelaporan tersebut. ”Kami mempercayakan tim ini (Komnas Perempuan) dalam konteks Bu PC (Putri, Red).”
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Andy Yentriyani menambahkan pihaknya memang sudah pernah berkomunikasi dengan Putri di awal-awal kasus bergulir. Kala itu, Komnas Perempuan diundang Polda Metro Jaya. Meski demikian, Komnas Perempuan belum bisa bicara banyak terkait perkembangan kasus dugaan kekerasan seksual yang ditangani Polda Metro Jaya tersebut.
”Kalau itu lebih baik ditanyakan kepada pihak kepolisian,” ujarnya. Secara umum, Komnas Perempuan tetap berpegang pada guideline atau pedoman yang diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dimana, ada standar-standar hak asasi manusia (HAM) yang harus dipatuhi agar proses penggalian informasi terhadap Putri tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk.
Sementara sekitar pukul 21.00 Kuasa Hukum Bharada E Deolipa Yumara mendatangi Bareskrim. Dia mengaku akan berkoordinasi terkait JC ke penyidik. “Terkait JC dan berita acara perkara (BAP) tambahan,” tuturnya.
Saat ditanya Jawa Pos, mengapa Bharada E tidak bisa menolak perintah menembak Brigadir Yosua, Deolipa mengatakan bahwa Bharada E merupakan anggota polisi yang memang harus patuh perintah atasannya. “Sama seperti karyawan, harus patuh juga ke pimpinannya,” jelasnya.