Untuk diketahui, Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat merupakan salah satu dari Wali Songo, para tokoh agama yang berkontribusi besar dalam menjalankan misi dakwah menyebarkan agama islam di Pulau Jawa khususnya di Provinsi Jawa Timur. Sunan Ampel juga merupakan sunan pertama di Demak dan pemimpin Wali Songo.
”Almarhum Abah sudah mulai mondok tahun 1920 yang dulu muridnya berjumlah 40 orang,” kata Mustofa.
Selama menjadi santri, Sabil diminta gurunya untuk melakukan khalwat (Menarik diri dari keramaian dan menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah, Red) atau dikenal dengan bertapa.
“Beliau bertapa atau bersemedi sekitar 100 meter dari Pondok Pesantren selama 100 hari. Setelah itu dijemput oleh gurunya dan diperintah menyebarkan agama islam ke Pulau Borneo,” kata Mustofa.
Gurunya yang bernama Nasrudin memberikan segenggam tanah di depan Masjid Ponpes Miftahul Ulum kepada Sabil sebagai petunjuk.
“Saat menyerahkan tanah, gurunya Abah berkata, Yatim tempatmu bukan di Jawa, bukan di Madura, bukan di Sumatera atau Sulawesi tetapi tempatmu di Pulau Borneo,” kata Mustofa menirukan dialog Guru Nasrudin kepada Sabil.
“Dulu nama Abah biasa dipanggil Yatim dan setelah mulai menyebarkan islam ke Pulau Borneo namanya diubah menjadi Muhammad Sabil,” tambahnya.
Guru Nasrudin kemudian melepas keberangkatan Sabil ke Pulau Borneo menggunakan perahu layar dari Pulau Jawa. Selama perjalanan panjang ‘membelah’ lautan, Sabil akhirnya sampai dan menginjakkan kaki pertama di Desa Sungai Kapitan, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat.
Pada saat itu, Sabil mencari kediaman Abdul Siam, Kades Sungai Kapitan yang masih ada ikatan saudara dengan Sabil.
“Selama beberapa tahun Abah tinggal ikut di rumahnya Abdul Siam. Dulunya masih dipenuhi hutan belantara,” ujarnya.
Selama di Desa Sungai Kapitan, Sabil mencari tahu tanah yang serupa yang ia bawa dari utusan gurunya. Setelah lama mencari, Sabil memutuskan bertapa di hutan dan mendapatkan petunjuk ke Sampit, tepatnya di Samuda, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan.