“Saat sampai di Samuda tinggalnya dengan bapaknya, Pak Wahyudi Kaspul Anwar (Bupati Kotim) Periode 2000-2010. Selama satu minggu di sana akhirnya beliau mendapatkan wangsit menuju Sampit melewati jalur sungai,” katanya.
Setiba di Sampit, Sabil bertemu warga Madura bernama Kacong Kene yang merupakan ayah dari Haji Marlinggi tokoh masyarakat Ikatan Keluarga Madura (Ikama) di Jalan DI Panjaitan selama sebulan.
Sabil kemudian meminta izin kepada Kacong yang saat itu menjadi kades diwilayah Jalan DI Panjaitan,untuk mencari tanah yang serupa dengan tanah yang diberikan Guru Nasrudin.
Setelah berputar-putar di hutan mencari sekitar wilayah Sampit, Sabil akhirnya menemukan makam keramat bernama Noor sekitar tahun 1940.
”Dulu di atas tanah masjid tepatnya dibelakang mimbar ada makam bayi bernama Muhammad Noor. Makam itu didapat dari petunjuk guru Abah,” ujarnya.
Setelah sudah menemukan titik lokasi yang dicari, Sabil kembali ke rumah Kacong dan meminta izin menguasai tanah mulai dari titik Masjid Jami Noor Agung sampai perbatasan Kompi di masa sekarang.
Makam Muslimin di Jalan Pemuda dahulu hanya tanah lapang yang diwakafkan Sabil sebagai tanah makam kuburan umum.
Sebelum menjadi Masjid Noor Agung, Sabil pertama kali membangun Musala yang diberi nama Musala Annur berukuran 4 x 4 meter pada tahun 1940.
“Waktu mendirikan Musala sudah dilarang kolonial Belanda dan disarankan membangun di atas tanah yang sekarang menjadi makam kuburan. Tapi Abah ngotot menyelesaikan pembangunan musala letak tanahnya yang sekarang menjadi Masjid Jami Noor Agung. Karena perlawanan itu, Abah saya dihukum, dipukuli, giginya lepas, wajahnya babak belur disiksa selama 7 hari berturut-turut oleh kolonial Belanda di markas Belanda yang berada di kawasan Taman Kota Sampit pada masa itu,” kata Mustofa.
Setelah menjalani hukuman selama satu minggu, Sabil kembali ke musala dan menyebarkan misi dakwah ajaran islam. Dari perjuangannya dalam menyebarkan islam, ia banyak mengislamkan orang menjadi mualaf.
”Dulu juga Abah mendirikan Pondok Pesantren yang santrinya terus bertambah. Tepat di empat tiang tempat kita duduk sekarang ini persis dibawah kubah Masjid, Abah dulu duduk disini mengajarkan agama Islam kepada para santri,” kata Mustofa kepada Radar Sampit.