“Abah meninggal setelah melaksanakan salat magrib tepat malam Jumat kliwon beliau wafat didepan mimbar bersama 13 jemaah dari suku Madura dan Jawa campur saat tragedi kerusuhan konflik antar etnis tahun 2001 lalu,” ujar Mustofa seketika menunjukkan raut wajah kesedihan dan khawatir membuka luka lama yang masih membekas.
Disaat penduduk Madura kocar-kacir mengungsi ke Pulau Jawa, Sabil memilih tetap bertahan di Masjid Noor Agung.
”Saat itu saya baru pulang dari Pondok Pesantren Pamekasan. Masuk Sampit tahun 1999, dua tahun kemudian saat konflik memanas saya disuruh abah lari ke Yogyakarta ke tempat keponakan, karena di Madura sudah tidak ada keluarga. Makanya saya lama tinggal di Yogyakarta dan menikah tahun 2002 sekarang sudah punya dua anak,keluarga dibawa ke Sampit fokus mengajar dan mengurus dua Masjid Noor Agung dan Nurul Hidayah,” kata Mustofa.
Kejadian yang sangat menyayat hati Mustofa, saat ia mengetahui ayahnya wafat bahkan jasad dan makamnya tidak ditemukan hingga sekarang.
“Setelah tragedi itu, jasad Almarhum tidak ditemukan. Menurut informasi penduduk Jawa yang masih bertahan tidak mengungsi saat tragedi itu, jasad almarhum dikuburkan disebelah utara masjid tetapi sampai sekarang makam itu belum ditemukan. Setiap saya mau ziarah mencari makam, beliau datang melalui mimpi memberi pesan, kalau ingin ketemu, Abah ada di dalam Masjid,” tandasnya. (***/ign)