”Seperti tingginya curah hujan saat ini, apabila tidak diimbangi dengan daya tampung dan daya dukung lingkungannya, maka wilayah hulu yang merupakan benteng terakhir hutan Kalteng tidak akan mampu menampung debit air yang tinggi,” ucapnya.
Kondisi tersebut memang terjadi di Kalteng, di mana kerusakan hutan di wilayah hulu turut berdampak terhadap erosi hingga menyebabkan pendangkalan aliran sungai di wilayah tengah. Belum lagi keberadaan sektor perkebunan dan pertambangan di wilayah tengah, yang aktivitasnya secara tidak langsung mengubah jalur sungai dan memutus beberapa jalur sungai.
”Permasalahan ini merupakan akumulasi dari bertahun-tahun yang lalu, semenjak adanya perizinan hingga saat ini. Pendangkalan membuat sungai tidak bisa menahan debit air ketika musim hujan,” ucapnya.
Hal tersebut kemudian diperburuk lagi dengan kerusakan gambut di wilayah hilir, yang di antaranya disebabkan kebakaran dan izin perkebunan. Gambut yang semestinya berfungsi menyerap air, ketika musim hujan tidak mampu lagi menampung, sehingga terjadilah luapan dan banjir.
Selain untuk melihat sejauh mana daya dukung dan daya tampung lingkungan, audit kondisi lingkungan ini penting untuk melihat sisa berapa persen tutupan hutan di Kalteng. Selama ini tidak jelas sisa tutupan hutan, bahkan ada beberapa daerah yang hutannya sudah terisisa di bawah 30 persen.
”Selain melakukan audit kondisi lingkungan, pemerintah juga perlu melakukan mengevaluasi izin-izin yang ada. Apakah izinnya sudah benar? Kalau tidak sesuai prosedur, ya tegakkan hukum. Cabut saja izinnya,” tegasnya. (hgn/sho/ign)