Kembali ke Masa Lampau Singapura di Kampung Lorong Buangkok

Sewa Murah, Sang Pemilik Hanya Ingin Menua Bersama Kawan-Kawan

boksss
TETAP BERTAHAN: Lucy Tyler me lintas di salah satu sudut Kampung Lorong Buangkok yang berbatasan dengan sebuah preschool bertingkat di kawasan Buangkok, Si ngapura. Foto atas, Sng Mui Hong di rumahnya di tengah kampung.

Wisatawan bebas keluar masuk tanpa biaya. Pengunjung tak harus melakukan reservasi. Tak ada penerima tamu, tak ada penjual tiket. Yang penting berlaku sopan kepada warga setempat.

Warga juga sudah sangat terbuka kepada pengunjung. Salah satu rumah di dekat surau bahkan menyediakan wadah berisi air gelas kemasan di pagarnya dengan tulisan ”Take it, if you need”.

Bacaan Lainnya

Wisatawan bisa datang sendiri seperti Lucy atau mencari pemandu wisata setempat. Ada yang berkisar SGD 25 (setara Rp 283.280) hingga paket grup seharga SGD 250 (setara Rp 2.826.583) untuk berkeliling selama dua jam.

Lalu, bagaimana kampung itu bisa bertahan di tengah deretan gedung bertingkat di Singapura? Itu tak terlepas dari kegigihan Sng Mui Hong yang tinggal tepat di tengah kampung, sendirian di rumah seluas 230 meter persegi. ”Saya tinggal di sini sejak berusia 4 tahun,” ungkapnya.

Kampung itu dibeli sang ayah, Sng Teow Koon. Mulanya, ada sekitar 40 rumah di sana. Kini hanya tersisa 26 rumah. ”Nomornya pun lompat-lompat. Nomor 11 di depan, tapi 13 di belakang,” ujarnya, lantas tertawa.

Baca Juga :  Dari Pelatihan Jurnalistik yang Digelar PWI Kotim (3-Habis)

Kondisi rumah dan perkampungan terus dipertahankan. Tak sekali-dua kali lahannya ditawar pemerintah dan agen properti agar dialihkan menjadi apartemen bertingkat seperti kawasan di sekitarnya.

Namun, dia menampik. ”Ini peninggalan ayah saya. Saya ingat ucapan ayah saya bagaimana dia menjaga kampung ini seperti menjaga anak-anak sendiri,” jawab anak bungsu di antara empat bersaudara tersebut.

Selain itu, Mui Hong punya alasan yang tak kalah sentimental. Lingkungan di dalam Kampung Lorong Buangkok yang mengisi kesepiannya saat dirinya kehilangan sang ibu di awal kepindahannya di sana.

”Semua aunty dan encik di sini saya kenal sejak kecil. Saya berteman dengan anaknya sampai mereka kini punya cucu sendiri,” tutur perempuan 72 tahun tersebut.

Kebanyakan warga yang masih tinggal merupakan tetangga lawasnya. Hanya satu rumah yang kemudian disewakan dan dialihfungsikan sebagai kantor kecil-kecilan. Ada pula yang dibiarkan kosong dan sesekali dikunjungi pemiliknya.



Pos terkait