Habiskan Jutaan Rupiah, Memilih Tetap Bertugas demi Pendidikan di Pedalaman

Perjuangan Berat Tenaga Kontrak Mengikuti Seleksi Tahap Kedua (2-Habis)

tekon guru naik perahu demi ikut tes seleksi (hgn)
PENUH PERJUANGAN: Tenaga kontrak guru menggunakan perahu untuk mengikuti seleksi tahap kedua di Sampit, Minggu (24/7). (IST/RADAR SAMPIT)

Bagi eks tenaga kontrak yang berdomisili di Kota Sampit, tak memerlukan waktu lama untuk menuju lokasi tes di Stadion 29 November Sampit. Namun, mereka yang dari pedalaman, harus menempuh perjalanan berjam-jam dengan biaya besar.

RadarSampit.com – HENY, Sampit

Bacaan Lainnya

Minggu (24/7) pagi itu, Reni Lindawati bersama Juling bertolak dari Kecamatan Telaga Antang menuju Sampit. Keduanya merupakan guru kontrak yang tidak lulus tes seleksi tahap pertama 23 Juni lalu. Sama-sama lama mengabdi di SDN 1 Rantau Sawang.

Sejak 2008 hingga sekarang, mereka betah bertugas mengajar muridnya dengan fasilitas seadanya. Berbagi tugas masing-masing memegang tiga kelas. Karena, hanya mereka berdualah guru kontrak yang sanggup mengajar di sekolah terpencil tersebut. Adapun Juling sendiri menjabat sebagai kepala sekolah.

Meski sebelumnya nama mereka dinyatakan tidak lulus seleksi tahap pertama, Reni dan Juling tetap mengajar anak muridnya yang berjumlah 47 orang saat mulai tahun ajaran baru 2022/2023 yang dimulai pada 11 Juli 2022. Padahal, nasib mereka tak jelas setelah dinyatakan gagal dalam seleksi.

Baca Juga :  Warga Kotim Siap Laporkan ASN Terindikasi Tak Netral dalam Pemilu 2024

”Kalau mengikuti kata hati, rasanya sakit hati tak ingin lagi mengajar. Saya sudah menjadi guru belasan tahun. Dinyatakan tidak lulus saat tes evaluasi tahap pertama 23 Juni 2022 lalu. Melihat murid-murid saya tidak ada yang mengajari, saya tidak sampai hati ingin berhenti mengajar. Saya kasihan, murid kami perlu belajar dan dididik supaya jadi anak yang pintar meskipun bersekolah di pedalaman,” ujarnya.

Keputusan Pemkab Kotim kembali menggelar tes bagi tenaga kontrak yang gagal seleksi tahap pertama, memberikan keduanya harapan baru. Reni dan Juling berangkat dengan semangat untuk pengabdian.

Perjalanan ditempuh menggunakan perahu. Meski ada alternatif jalur darat, mereka tak berani, karena jalannya terlalu berisiko. Hujan yang kerap mengguyur beberapa hari sebelumnya, membuat jalanan hancur, licin, dan becek.

Keduanya patungan mengumpulkan uang Rp 450 ribu untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) menggerakkan perahu. Motoris perahu yang juga kerabat mereka, hanya meminta keduanya mengganti biaya BBM. Padahal, biaya carter perjalanan menggunakan perahu bisa menghabiskan uang sekitar Rp 2 juta pulang-pergi.



Pos terkait