KPU Ingatkan Presiden Wajib Cuti Bila Kampanye

ilustrasi kpu
ilustrasi

Ari juga membandingkan, presiden sebelum Jokowi juga melakukan praktik yang sama. Misalnya Presiden ke-5 Megawati Soekarno Putri dan ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. “Mereka memiliki preferensi politik yg jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya,” ungkapnya.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan senada. Yakni aturan telah memperbolehkan kampanye dilakukan oleh presiden. “Tapi saya sudah, sejak awal sudah memposisikan diri untuk bersikap netral, tidak memihak,” katanya.

Bacaan Lainnya

Hingga kini, Ma’ruf memilih bungkam soal pilihannya. Menurutnya ini urusan personal jadi tidak perlu mempublikasikan. “Ini bukan perbedaan dengan presiden. Memang presiden sudah menyatakan seperti itu dan saya memang tetap netral,” ungkapnya.

Ma’ruf juga mendukung jika ada pelanggaran maka dilaporkan ke Bawaslu. Misalnya terkait bantuan sosial yang terdapat gambar salah satu paslon. “Nanti Bawaslu yang memberikan apakah pelanggaran atau tidak,” katanya.

Baca Juga :  Optimis Didukung Banyak Pihak, Menag Matangkan Usulan KUA Layani Pernikahan Semua Agama

Para Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang bergabung dalam CALS (Constitutional and Administrative Law Society) merespon keras penyataan Jokowi. Pakar hukum Bivitri Susanti mengatakan, menyentil inkonsistensi presiden. Sebelumnya, Jokowi menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya mengikutinya.

Bivitri menduga, perubahan sikap itu membuktikan betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilu. “Tak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden,” ujarnya.

Padahal harus disadari, seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu bila aktif berkampanye. Karena pejabat, terlebih Presiden akan bisa mempengaruhi keadilan Pemilu. Baik dari aspek kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi, hingga memengaruhi netralitas birokrasi.

“Keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif,” imbuhnya.

Bivitri berpendapat, perlu dibedakan antara berpolitik dan berkampanye. Presiden berhak berpolitik, tetapi tidak diperbolehkan untuk berkampanye. Meski UU Pemilu memberi ruang, namun UU harus diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945 yaitu LUBER JURDIL, dengan penekanan pada aspek keadilan.



Pos terkait